Feature

Inilah Kisah Orang dengan HIV/AIDS di Yogyakarta, Magdalena Berjuang Hapuskan Diskriminasi

Meski HIV tidak bisa menular melalui interaksi sosial, sebagian masyarakat belum bersedia menerima kehadian orang dengan HIV/AIDS atau ODHA.

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Iwan Al Khasni
TRIBUNJOGJA/MIFTAHUL HUDA
Magdalena Diah Utami sosok ODHA yang menginsipirasi teman-teman sesama HIV di DIY, Selasa (30/11/2021) 

Meski HIV tidak bisa menular melalui interaksi sosial, sebagian masyarakat belum bersedia menerima kehadian orang dengan HIV/AIDS atau ODHA. Pengalaman itulah yang dialami oleh Magdalena Diah Utami, ODHA di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

SENYUM Magda, demikian panggilan Magdalena, merekah ketika dijumpai Tribun Jogja di sebuah yayasan pelayanan sosial bagi ODHA bernama Victory Plus di Caturtunggal, Depok, Kabupaten Sleman, Selasa (30/11/2021).

Di balik sikap ramah tersebut, Magda yang sudah dikaruniai dua anak menyimpan sekelumit kisah pedih saat dinyatakan positif HIV. Momen itu terjadi pada 2008 silam saat Magda dalam kondisi hamil dan bersiap melahirkan.

Betapa ia terkejut mengetahui bahwa bayi yang dilahirkan ternyata positif HIV. Magda pun turut dinyatakan sebagai ODHA. Dokter berkata, anak perempuan yang baru saja dilahirkan tertular HIV dari Magda. Dunia seakan kiamat.

Pada 2008, informasi tentang HIV masih sangat minim. Pelayanan bagi ODHA juga terbilang terbatas. Belum lagi, Magda harus menanggung beban mental akibat perlakuan diskriminasi dari orang-orang di lingkungan sekitar.

Perempuan yang sekarang berusia 43 tahun ini kemudian bergabung dengan Dukungan Sebaya, sebuah kelompok dukungan bagi ODHA.

Di sana, ia mulai mendapat informasi soal HIV/AIDS serta mendapatkan akses pelayanan.

“Dulu saya bingung. Punya uang hanya Rp20.000 untuk ke rumah sakit. Baru melahirkan dan nggak punya uang, kan, bingung, ya. Ditambah, ada diskriminasi dari orang-orang di lingkungan sekitar,” terangnya memulai obrolan.

Bisa dibilang, kepercayaan diri dan semangat Magda untuk bangkit serta meneruskan hidup muncul setelah bergabung dengan Dukungan Sebaya. Sampai akhirnya, ia mengabdikan diri untuk melayani ODHA yang butuh ARV.

Sekadar informasi, ARV adalah antiretroviral, obat untuk semua orang yang terinfeksi HIV. ARV tidak bisa menyembuhkan HIV, tetapi membantu penyintas hidup lebih lama dan lebih sehat. ARV mengurangi risiko penularan.

“Saya mengabdikan diri di Dukungan Sebaya lantaran tidak ingin ada ODHA yang kesulitan mendapat pelayanan ARV. Sebab, saya pernah mengalami bagaimana sulit mengakses obat-obatan pada 14 tahun silam,” tambahnya.

Impian terbesar Magda hanyalah satu. Magda tidak ingin ada lagi perlakuan diskriminasi terhadap ODHA. Ia bersama sang putri mengaku sekarang sangat terbuka terhadap siapapun yang ingin berdiskusi mengenai HIV/AIDS.

“Kami sering diminta untuk menjadi pembicara dalam acara sosialisasi serta pencegahan HIV/AIDS. Saya meyakini bahwa ODHA tetap layak untuk hidup normal. ODHA bisa sehat dan beraktivitas seperti orang biasa,” ujarnya.

“Bahkan, anak saya menekuni seni lukis. Ia menggambar di cangkir atau mug. Karyanya dijual. Uang hasil penjualan ia donasikan. Saya meyakini HIV tidak sebegitu menakutkan sampai ODHA harus didiskriminasi,” cetusnya.

Berjuang lawan Covid-19

Sebagai ODHA, Magda dan sesama penyintas merasakan kepanikan dua kali lipat atas keselamatan diri di tengah pandemi Covid-19. Mereka tak cuma harus berdamai dengan HIV/AIDS, tetapi juga waspada virus corona.

Kesulitan mengakses ARV sempat mereka alami tatkala virus corona merajalela pada Mei-Agustus 2021. “Stok ARV terbatas. Jam pelayanan bagi ODHA di puskesmas atau fasilitas kesehatan lain pun dibatasi,” paparnya.

Di tengah kesulitan itu, Magda seolah menjelma sebagai “penyelamat” bagi ODHA di DIY. Ia mendatangi satu per satu penyintas. Ia membagikan ARV sesuai kebutuhan. “Setiap Sabtu, saya keliling dari pagi sampai malam,” katanya.

Mengenai hak memperoleh vaksin Covid-19, Magda mengaku butuh perjuangan ekstra. Status sebagai ODHA cukup menghambat. Beberapa tenaga vaksinator belum sepenuhnya memahami syarat vaksinasi bagi para ODHA.

“Bahkan, ODHA harus menutupi status. Kalau terus terang berstatus ODHA, kami akan semakin sulit untuk mendapatkan vaksin. Sementara jika langsung ke dokter, kami harus tes darah atau CD4 dan lain-lain,” ungkap Magda.

Ke depan, ia berharap semakin banyak sosok yang peduli terhadap ODHA di DIY. Berdasarkan data, dalam satu tahun terakhir, ia menerima 57 laporan terkait diskriminasi ODHA di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. (Miftahul Huda)

Baca Tribun Jogja edisi Kamis 02 Desember 2021 halaman 01

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved