Fenomena Langka, Varian Delta di Jepang Tiba-tiba Musnah
Ilmuwan menyebutkan bahwa hilangnya varian delta di Jepang akibat terjadinya kegagalan evolusi yang membuat virus menghancurkan dirinya sendiri
Penulis: Mona Kriesdinar | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM - Jepang mengalami penurunan kasus positif covid-19 yang sangat signifikan dibandingkan dengan tiga bulan lalu. Kini, tercatat hanya ada 140 kasus harian. Padahal pada Agustus 2021 lalu, Jepang menghadapi situasi krisis dengan penambahan kasus covid-19 mencapai 23 ribu kasus per hari!
Jumlahnya rekor terendah bahkan terjadi pada Jumat, 19 November 2021 dengan jumlah penambahan kasus harian hanya 16 kasus.
Fenomena menghilangnya varian delta secara tiba-tiba di Jepang itu menjadi pertanyaan besar para ilmuwan. Sementara ini, muncul dugaan bahwa varian delta mengalami kegagalan mutasi sehingga sel itu menghancurkan dirinya sendiri.
Padahal, mutasi sebenarnya dapat membuat virus menjadi lebih kuat.
Namun dalam kasus di Jepang, susunannya berubah seiring waktu saat ia bereplikasi dan gen mengalami "kesalahan penyalinan", hingga menyebabkan "jalan buntu evolusi".
Peneliti yang dipimpin oleh National Institute of Genetics, Mishima, Jepang, menemukan banyak perubahan genetik sebelum proses evolusi terhenti secara tiba-tiba.
“Varian Delta di Jepang sangat menular dan beda dari varian lain. Tetapi ketika mutasi menumpuk, kami percaya itu akhirnya menjadi virus yang salah dan tidak dapat membuat salinan dirinya sendiri," kata Ituro Inoue, seorang profesor genetika di institut tersebut.
“Mengingat bahwa kasusnya belum meningkat, kami berpikir bahwa pada titik tertentu selama mutasi semacam itu, ia langsung menuju kepunahan alami," tambahnya sebagaimana dilansir The Japan Times.
Prof Inoue menambahkan bahwa virus masih akan menyebar jika Varian Delta dalam kondisi "hidup dan sehat".
Sementara itu, Dr Simon Clarke, Kepala Divisi Ilmu Biomedis dan Teknik Biomedis di University of Reading, memperkuat pendapat Inoue.
Menurut dia terlalu banyak mutasi dapat menyebabkan virus mati.
"Virus itu mengakumulasi terlalu banyak mutasi dan karenanya bisa berhenti bereplikasi," katanya kepada The Sun, Senin (22/11/2021)
Dr Clarke menambahkan bahwa ada kemungkinan strain berhenti berevolusi.
Tetapi hanya ketika berhenti bereplikasi, yang menurut para ilmuwan Jepang telah terjadi proses di mana virus telah berevolusi untuk berhenti bereplikasi.
“Anda perlu entah bagaimana memutuskan rantai penularan dan beberapa mutasi akan membuat virus tidak dapat bertahan – mereka menjadi jalan buntu evolusioner. Namun, itu hanya akan terjadi pada sebagian kecil kasus," katanya.
"Masih akan ada banyak virus corona di sekitar yang mampu menginfeksi orang dan akan melakukan hal itu sampai kita memiliki kekebalan yang cukup atau kita dapat memutus rantai penularan, itulah yang terjadi dengan SARS karena penularannya tidak sebaik itu," tambahnya. (*/MON)