Ketum PP Muhammadiyah Minta Permendikbud 30/2021 Direvisi: 'Tanpa Persetujuan Korban' Dihapus

etua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) untuk mengkaji

Penulis: Yuwantoro Winduajie | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM/ Yuwantoro Winduajie
Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) untuk mengkaji ulang Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 yang mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Menurutnya, pemerintah perlu bersikap arif yakni dengan menampung segala jenis masukan dari berbagai kalangan. Termasuk pihak-pihak yang berkeberatan terkait diterbitkannya aturan tersebut.

Saat ini, Mendikbudristek dianggap tak mengakomodasi suara kalangan tertentu dalam proses penyusunan aturan tersebut.

Baca juga: Kulon Progo Tetap Berstatus PPKM Level 2, Ini Penjelasan Gugus Tugas

"Sekarang kami Muhammadiyah tentu warga bangsa yang menjunjung tinggi nilai agama, Pancasila, kebudayaan luhur bangsa, menyerahkan pada kearifan pemerintah untuk menyerap apa yang menjadi keberatan itu dan saya percaya bahwa kearifan itu akan muncul," terang Haedar saat ditemui di Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, DI Yogyakarta, Selasa (16/11/2021).

Haedar pun menyinggung soal peristiwa penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal dari Pancasila.

Tujuh kata tersebut ialah "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Keputusan itu diambil melalui proses demokrasi yang panjang yakni dengan menampung segala aspirasi dan masukan dari masyarakat dan tokoh-tokoh bangsa.

"Jadi dengarlah suara (pihak) yang keberatan dari hati yang paling dalam," jelasnya.

Haedar pun meminta frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Pasal 5 ayat 2 dan 3 Permendikbudristek 30/2021 untuk dihapus.

Penghapusan tersebut menurutnya tak akan mengubah definisi terkait kekerasan itu sendiri.

Sebelumnya, Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga menilai bahwa beleid tersebut cacat secara formil.

Sebab, aturan tersebut berpotensi melegalkan zina. 

Baca juga: Dinas Kesehatan Sebut Ada 4 Kalurahan Zona Merah Covid-19 di Sleman 

"Apalagi apasih susahnya menghilangkan satu kata yang itu (jika dihapus) tidak akan mengurangi dan bahkan menumbuhkan konsep kekerasan apapun termasuk kekerasan seksual. Jadi segala bentuk kekerasan itu ditentang dan ditolak oleh siapapun kelompok manapun apalagi kelompok agama," bebernya.

Menanggapi sanksi penurunan akreditasi bagi kampus atau PT yang tak mematuhi Permendikbud tersebut, Haedar mengatakan, upaya untuk mendapatkan akreditasi membutuhkan proses panjang dan berat.

Haedar pun meminta kementerian untuk meninjau terkait pemberian sanksi tersebut.

"Untuk kami (perguruan tinggi) swasta perjuangannya berat apalagi Muhammadiyah mengedepankan syarat objektif. Kita tidak biasa dengan hal yang instan untuk dapat akreditasi itu berat," tuturnya. (tro)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved