Melihat Sejarah Tugu MBKD dan Jejak Perjuangan Jenderal AH Nasution di Kaki Gunung Merapi Klaten

Untuk mengenang sejarah tersebut, di Desa Kepurun, juga berdiri sebuah Monumen Markas Besar Komando Djawa (MBKD) Pos X.

Penulis: Almurfi Syofyan | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUN JOGJA / ALMURFI SYOFYAN
Sejumlah warga saat melihat Monumen MBKD Pos X di Desa Kepurun, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Minggu (7/11/2021). 

TRIBUNJOGJA.COM, KLATEN - Jenderal Abdul Haris Nasution (AH Nasution) pernah singgah dan mengatur siasat perang gerilya melawan penjajah Belanda di Desa Kepurun, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Saat Jenderal AH Nasution berada di desa kaki Gunung Merapi itu, situasi di Indonesia sedang meletus agresi militer Belanda II pada 19 Desember 1948.

AH Nasution saat meletusnya agresi militer Belanda II dilaporkan sedang berada di daerah Surabaya dan Malang, Jawa Timur.

"Pas agresi 2 Belanda itu, Pak Nas (Sapaan AH Nasution) bersama pimpinan angkatan darat sedang berada di daerah Jawa Timur," ucap Raharjo (40) anak dari Saeran pembantu Jenderal AH Nasution selama di Kepurun saat TribunJogja.com temui di rumahnya, Minggu (7/11/2021).

Ia mengatakan, Jenderal AH Nasution saat itu pulang dari daerah Jawa Timur bersama timnya dengan menumpangi kereta api tujuan ibukota negara saat itu Yogyakarta.

Namun, sesampai di Stasiun Srowot yang saat ini masuk wilayah Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Jenderal AH Nasution mendapat kabar jika Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo (saat ini bernama Bandara Adi Sucipto) sudah jatuh ke tangan Belanda.

Kemudian, sejumlah tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya ditangkap dan kemudian diasingkan.

Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Kota Bukittinggi yang saat ini masuk Provinsi Sumatera Barat.

PDRI itu dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara mulai 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949.

"Kemudian Pak Dirman (Jenderal Besar Soedirman) memutuskan untuk dilakukan perang gerilya (perang sembunyi-sembunyi) melawan belanda karena Bung Karno (Soekrano) dan para tokoh sudah ditangkap dan diasingkan," ucapnya.

Ia mengatakan setelah turun dari Stasiun Srowot, Jenderal AH Nasution menuju ke arah utara dan tiba di Desa Taskombang.

"Setiba di Taskombang itu, Pak Nas menginap di rumah lurah pertama Taskombang si mbah Parto Wirjono. Saat itu bapak saya (Saeran) masih berusia 15 tahun dan ikut bantu-bantu di sana," ucapnya.

Ia menyebut jika Jenderal AH Nasution di Desa Taskombang hanya sebentar saja.

Hal itu karena, desa tersebut masih berada dekat dari Prambanan dan dirasa belum aman untuk mengatur siasat perang gerilya.

"Tidak lama di sana (Taskombang) karena dirasa terlalu dekat dengan poros Prambanan-Jogja sehingga disarankan menjauh ke Desa Kepurun," ucapnya.

Ia mengatakan, saat itu Jenderal AH Nasution dan rombongan disarankan berangkat ke desa di kaki Gunung Merapi itu pada malam hari dan diantar oleh Saeran.

Setiba di Desa Kepurun, Jenderal AH Nasution dan rombongan dikira oleh kepala desa saat itu sebagai mata-mata sehingga sempat timbul perdebatan hangat.

"Pak Nas ini kan kulitnya putih bersih jadi dikira oleh si mbah lurah Kepurun sebagai mata-mata, tapi akhirnya bapak saya yang menjelaskan," urainya.

Setelah mendapat penjelasan, akhirnya jenderal AH Nasution menetap di rumah lurah Desa Kepurun itu bernama Parto Harjono.

Namun, selama menentap di Desa Kepurun, Jenderal AH Nasution tidak tidur di satu rumah saja karena berganti-ganti setiap malamnya untuk menjaga keamanan dirinya.

"Setiap malam memang pindah-pindah rumah dan bapak saya sering menemani," ucapnya.

Ia menyebut, Jenderal AH Nasution berada di Desa Kepurun sekitar 3 bulan lamanya.

"Selama tiga bulan itu, semua serangan gerilya yang dilakukan, apapun hasilnya dilaporkan ke Kepurun karena waktu itu Pak Nas menjabat Komandan MBKD," imbuhnya.

Untuk mengenang sejarah tersebut, di Desa Kepurun, juga berdiri sebuah Monumen Markas Besar Komando Djawa (MBKD) Pos X.

Monumen itu berbentuk segi panjang dan terbuat dari marmer dengan tinggi sekitar 6 meter dan lebarnya 1,5 meter.

Monumen ini berdiri persis di depan bekas rumah lurah Desa Kepurun Parto Harjono yang ditemui Jenderal AH Nasution waktu menyusun perang gerilya pada rentang waktu 1948 hingga 1949 itu.

Adapun monumen itu diresmikan oleh Wakil Presiden Indonesia Adam Malik pada 19 Desember 1982.

Pantauan TribunJogja.com di lokasi, pada sisi belakang monumen terukir sebuah tulisan atau deskripsi singkat mengenai Monumen MBKD itu.

Adapun beberapa tulisan yang tertera, yakni;

Perintah Kilat

1. Kita telah diserang
2. Pada tanggal 19-12-1948 angkatan perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata.
4. Semua angkatan perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.

Dikeluarkan di tempat tgl. 19-12-1948 jam 08.00.

Panglima Besar Angkatan Perang Letnan Djendral Soedirman.

( tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved