Cerita Seorang Wanita di SlemanTerjebak Pinjol, Lha Wong Sudah Lunas Kok Tetap Diteror
Seorang wanita di Sleman, DI Yogyakarta mengaku terjebak pinjol. Anehnya, utangnya sudah lunas namun si pinjol tetap meneror.
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: ribut raharjo
TRIBUNJOGJA.COM - Seorang wanita di Sleman, DI Yogyakarta mengaku terjebak pinjol. Anehnya, utangnya sudah lunas namun si pinjol tetap meneror.
Dalam sepekan terakhir, polisi menggerebek perusahaan pinjol di berbagai kota. Ini karena banyak nasabah pinjol yang kenan teror.
Puluhan karyawan pinjol pun dibawa polisi untuk diperiksa. Namun sebagian lainnya dipulangkan.
Tak pernah terbayangkan, 2021 menjadi tahun yang sangat berat, pelik, dan rumit bagi seorang wanita, warga Kalasan, Sleman. Semua
kerumitan hidup itu penyebabnya satu, karena jeratan pinjaman online (pinjol) ilegal.
Ceritanya bermula pada bulan Februari silam. Karena ada kebutuhan mendesak, perempuan 29 tahun itu membutuhkan uang cepat, sekitar Rp13 juta.
Sudah mencoba pinjam kanan-kiri namun tidak berhasil.
Di tengah kekalutan, tiba-tiba muncul iklan pinjol saat dirinya mendengarkan lagu di kanal Youtube.
Di iklan yang muncul itu, aplikasi tersebut terlihat sangat meyakinkan. Sebab, mencantumkan logo Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Saya install aplikasi itu lewat Play Store. Lalu, memasukkan data diri. Termasuk foto dan foto kartu tanda penduduk (KTP)," katanya.
Selain data diri, aplikasi tersebut juga meminta izin untuk mengakses kontak dan data panggilan dari ponsel Intan.
Dari situlah petaka bermula. Ketika semua data sudah masuk, aplikasi tersebut lalu menawarkan pinjaman dengan sekali "klik" berlimit maksimal Rp9 juta.
Tanpa pikir panjang, dia langsung mengajukan pinjaman.
"Enggak sampai 10 menit, duit langsung masuk ke rekening, 7 juta (rupiah)," ungkap dia.
Saat itu, dia merasa pinjol yang dilakukan lewat aplikasi itu aman.
Dalam bayangan, ia mampu mengembalikan utang tersebut. Sebab, sepengetahuannya, tenor atau masa jatuh tempo pinjaman tersebut 91 hari.
Ternyata salah. Saat waktu senggang, dia kembali membuka aplikasi tersebut dan ternyata jatuh temponya hanya 7 hari.
Parahnya lagi, dalam waktu sepekan itu, dia harus mengembalikan uang Rp15 juta.
Usut punya usut, dia terjebak dalam aplikasi itu.
Jadi, uang nominal Rp7 juta yang ditransfer ke rekeningnya berasal dari sejumlah aplikasi.
Hal itu diketahui melalui mutasi rekening.
Penggambaran sederhananya, sebut saja aplikasi tersebut A, B, C, D, dan E.
Masing-masing aplikasi mentransfer uang ke rekening dia dengan nominal yang bermacam-macam.
Semisal aplikasi A mentransfer Rp1,2 juta. Namun yang tertera diaplikasi, dia dikenakan pinjaman Rp2 juta, bunganya Rp800 ribu.
Begitu juga di aplikasi kedua dan seterusnya. Tagihan di tiap aplikasi berkisar antara Rp2 juta-Rp3 juta.
"Dari lima aplikasi itu saya harus mengembalikan 15 juta, dalam waktu tujuh hari. Selama seminggu itu, saya berpikir bagaimana mengembalikan uang itu," ucapnya.
Mulai ditagih
Ketidakwajaran itu terus berlanjut. Intan membayangkan dirinya akan mulai ditagih pada hari ketujuh.
Ternyata tidak, baru hari kelima, pihak pinjol langsung melancarkan "aksi teror" dengan alasan maintenance sistem.
Bermula mengirim pesan WhatsApp berbunyi “segera dibayarkan". Kemudian mulai menggunakan kata-kata kasar melalui panggilan telepon. Hingga mengancam akan menyebarluaskan data pribadi.
Dia berusaha meladeni dan menjawab baik-baik bahwa jatuh temponya masih dua hari lagi.
Hingga sore di hari kelima itu, dia tidak membayarkan utang. Saat itu, ia berpikir pinjol akan menyebarkan foto dan data pribadi ke adiknya.
Sebab, saat mengisi data diri di awal mengakses aplikasi, dia mencantumkan dua nomor kontak ponsel adiknya.
Ternyata dugaannya salah. Pihak pinjol menyebar datanya ke sejumlah kontak yang di ponselnya yang disimpan dengan nama awalan Mas, Mbak, ataupun Om.
"Saya enggak tahu berapa yang disebar. Tapi ada dua orang yang menghubungiku. Dia tanya, ‘kamu ada masalah apa?’ Katanya, saya maling duit. Buronan," ucap dia menirukan pesan yang dikirimkan ke kerabat atau rekan-rekannya itu.
Meski berada dalam tekanan, kala itu belum berani bercerita. Apalagi melapor. Ia simpan sendiri persoalan tersebut.
Bahkan terus berusaha membayar tagihan. Sebab, dikontak ponselnya tersimpan nomer relasi penting.
Singkat cerita, Februari hingga April, ia terus meladeni pinjol tersebut karena ketakutan data dirinya akan disebarkan lebih luas.
Selama lima bulan itu, dia terus memutar otak untuk mencari celah.
Caranya, dari lima aplikasi aggregator, ia membayar tagihan ke dua aplikasi, A dan B. Kemudian, setelah dibayar, ia menarik uang lagi untuk membayar di tiga aplikasi lainnya.
"Begitu terus-menerus setiap Minggu. (Langkah) ini hanya untuk memproteksi kredibilitasku. Takut diancam dan takut diteror," ungkapnya.
Langkah tersebut, justru membuat dia semakin masuk ke dalam pusaran pinjol. Ia mengalami kerugian banyak. Tiap Minggu jumlahnya semakin membengkak.
"Awal april saya merasa ini sudah parah, ngacau, saya sudah hampir gila di bawah bayang-bayang teror (pinjol) ini," ujar dia.
Dia berpikir ini sudah salah kaprah. Puncaknya, ketika ia kemudian nekat membuka dan meminjam uang di aplikasi pinjol lain hanya karena ingin menutup utang di aplikasi sebelumnya. Akhirnya, ia terjerat di dua aplikasi aggregator dan bangkrut.
Tidak sanggup menghadapi beban ini. Pelan-pelan, ia memberanikan diri bercerita kepada teman. Kemudian mulai mengurai benang kusut masalah yang dihadapi.
Dia kemudian memutuskan meminjam uang kepada teman dan bank dengan jaminan gaji bulanan.
Jumlahnya mencapai kisaran Rp90 juta untuk menutup tagihan di dua aplikasi pinjol tersebut.
Jumlahnya memang membengkak banyak, karena perhitungan limit yang harus dibayar dengan peminjaman yang dilakukan berulang-ulang.
Seusai dibayar, “aku pikir masalahnya bakal selesai. Ternyata tidak," ucapnya.
Ia masih mendapat teror. Serangan itu dilancarkan ke nomor ponsel teman-temannya.
Awal Juli, dia memutuskan melaporkan kejadian itu ke Polres Sleman.
Laporannya diterima di Reserse dan Kriminal. Kemudian, di bulan yang sama mendatangi Direktorat Kriminal Khusus Polda DIY.
Namun, dia mengaku tidak bisa membuat laporan dengan alasan tertentu.
Ia justru disarankan jika berurusan dengan pinjol maka utang tidak perlu dibayar. "Sampai detik ini, mereka (pinjol) masih neror ke nomor ibu dan bapakku," tutur Intan.
Diperangi
Genderang perang terhadap pinjol ilegal saat ini sedang digalakkan penegak hukum. Sebab, dinilai sudah sangat meresahkan masyarakat.
Pada Kamis (14/10) malam, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar bersama Polda DIY bahkan menggerebek kantor pinjol ilegal di Samirono, Caturtunggal, Depok, Sleman.
Dalam penggerebekan tersebut, 1 manager, 2 HRD, dan 83 operator atau debt collector online diamankan. Mereka dibawa ke Polda Jabar untuk menjalani pemeriksaan.
Satu orang dikabarkan telah ditetapkan menjadi tersangka. Sementara 79 dipulangkan ke Yogyakarta.
Kabidhumas Polda DIY, Kombes Pol Yuliyanto meminta masyarakat yang telah menjadi korban pinjol untuk melapor.
Namun sebelum melapor, diminta agar lebih dahulu berkonsultasi ke Reserse dan Kriminal agar lebih mudah diarahkan untuk pembuatan laporan kepolisian.
Sabtu sore kemarin, Tribun Jogja mencoba
mengonfirmasi, apakah sudah ada masyarakat yang menjadi korban pinjol dan melapor ke Polda DIY.
"Sampai sekarang (kemarin) belum ada LP (laporan polisi) yang berkaitan dengan pinjol di Jogja," jelas Kombes Pol Yuliyanto. (rif)