FEATURE

Istirahatlah, Mas Cindhil

Dunia teater Yogyakarta kehilangan seorang putra terbaiknya. Pria yang juga seorang aktor film, Gunawan Maryanto berpulang.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Agus Wahyu
TRIBUNJOGJA.COM / Ardhike Indah
BERPULANG - Jenazah Gunawan Maryanto ketika diberangkatkan ke permakaman dari rumah duka, Karangmalang, Depok, Sleman, Kamis (7/10/2021) 

Bukan sebuah rahasia jika Gunawan Maryanto (45), aktor dan seniman asal Yogyakarta merupakan seorang pekerja keras. Sejak kecil, Cindhil, begitu sapaannya, sudah membentuk teater anak bernama Lasamba di Padukuhan Karangmalang, Kapanewon Depok, Desa Caturtunggal, Sleman.

TEATER anak itu sering menggelar pentas dari sekolah ke sekolah, ketika ada perpisahan maupun acara penting lainnya. Secara serius, ia mengawali karier teaternya di SMAN 6 Yogyakarta, Teater EMWE, 1992. Di teater SMA ini, Cindhil pertama kalinya menorehkan prestasinya menjadi Juara 1 Lomba Geguritan Pelajar DIY.

“Mas Wawan itu sudah jadi sutradara pada usia kurang lebih kelas 5 SD. Almarhum sering menggelar pentas dari sekolah ke sekolah dan masjid. Kalau ada peringatan hari besar, teater Mas Wawan itu diminta mengisi saat menunggu pengajian atau ustaznya datang,” ungkap Agus Basuki, kakak sepupu Gunawan Maryanto, Kamis (7/10/2021).

Cindhil memang tak pernah betul-betul beristirahat, sedari dulu. Sebelum meninggal pada Rabu (6/10/2021) sekitar pukul 20.00 WIB, dia sempat memimpin rapat membahas program Open Lab, sebuah platform pelatihan teater dari kelompok Teater Garasi.

Hingga akhir hayatnya, Cindhil masih mendedikasikan diri untuk menjadi aktor teater yang memberikan warna baru di dunia seni Indonesia. “Kabar yang kami dapatkan, Mas Wawan ini masih rapat di Teater Garasi, di Bantul. Sekitar jam 16.00 WIB, dibawa ke RS Ludiro Husidi. Diagnosa dokter, memang dia kena serangan jantung,” papar Gunawan.

Kematian Cindihl pada usia yang masih produktif, 45 tahun, bukanlah hal yang disangka-sangka. Agus bahkan tak mengira, adiknya pergi secepat itu. Pihak keluarga sempat tak percaya, bahwa Cindhil telah tiada.

Agus, yang menjadi perwakilan keluarga Cindhil pun tak dapat berkata banyak kepada wartawan. “Beliau begitu loyal dengan pekerjaannya, terhadap teater. Totalitas beliau di atas panggung sudah tak usah diragukan lagi. Kami merasa berterimakasih, saat mas Wawan ini tiada, ada banyak orang yang melayatnya, membantunya dan mengenangnya,” kata Agus melanjutkan.

Nama Cindhil semakin dikenal publik tatkala dia memberikan jiwa kepada tokoh Wiji Thukul dalam film ‘Istirahatlah Kata-kata’, tayang pada 2017 lalu. Dari sosok Wiji Thukul, yang hingga kini entah di mana keberadaannya, Cindhil bisa mendapatkan Usmar Ismail Awards sebagai Aktor Terbaik pada 2017.

Penghargaan demi penghargaan bisa ia dapatkan, termasuk di antaranya menjadi Pemeran Utama Pria Terbaik dari Festival Film Indonesia Tahun 2020 setelah memerankan Siman dalam film ‘Hiruk-Pikuk si Al-Kisah’. “Ya, kami merasa bersyukur. Alhamdulillah, Mas Wawan bisa diterima publik. Saya lihat berita di TV tadi, banyak rekan-rekan aktris, aktor yang mengucapkan bela sungkawa,” tutur Agus.

Dia juga berpesan kepada publik, apabila ada utang piutang Cindhil yang masih tersisa saat dia masih hidup, harap segera menghubungi keluarga.

Gigih
Teater memang menjadi hidup Cindhil, tapi bukan berarti dia tak pernah mencicipi hal-hal berbau politik. Pada masa kuliah, Cindhil pernah menempuh studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Namun ternyata, politik tak menarik hatinya. Dia kemudian pindah ke Jurusan Sastra Jawa UGM dan sempat kuliah di jurusan itu selama empat semester.

Lagi-lagi, kuliah di Sastra Jawa belum menarik hatinya untuk meraih titel sarjana. Maka, Cindhil pun fokus pada dunia teater hingga dirinya tutup usia.

“Kegigihan Mas Wawan itu memang sejak kecil, karena ibunya sudah meninggal ketika dia kelas 6 SD. Sehingga, bapak Mas Wawan, pada saat itu, sudah sendiri. Dia berusaha mencari jati dirinya sejak muda,” terang Agus.

Keakraban Gunawan Maryanto dalam hal seni pun sepertinya diturunkan oleh sang ayah, yang merupakan seniman kampung, penggemar seni ketoprak. “Bapaknya itu dulu suka teater tradisional, semisal ketoprak. Kalau di kampung ada pementasan, beliau menjadi tokohnya,” tambah Agus.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved