Obral Ribuan Rumah Kos di Yogyakarta Sampai Banting Harga, Berpotensi Turunkan PAD
Meski bukan fenomena baru, namun beberapa pemilik kos menjual bangunannya lantaran untuk bertahan hidup.
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Muhammad Fatoni
Pasalnya, harga yang ditawarkan oleh kebanyakan orang lebih rendah dari harga sebelum pandemi Covid-19.
"Adanya pandemi mereka akan berpikir, karena banyak yang jualan, orang cari akhirnya mereka jual dengan harga yang rasional," jelasnya.
Kondisi itu memang sudah menjadi fakta karena berdasarkan penelusuan di situs jual beli property Lamudi.co.id ada 1310 unit rumah indekos yang di DIY, dengan mayoritas berada di Kabupaten Sleman.
"Itu ada 1.000 lebih yang ditawarkan. Jadi mereka bukan bangkrut, karena ada banyak hal," jelas dia.
Kendati demikian, Beny membenarkan untuk rumah kos non eksklusif bisa jadi mengalami kesulitan.
"Karena kos yang warisan itu kan tidak dipromosikan. Hanya ditempeli terima kost, jadi arahnya bukan bisnis. Ada ya silakan, enggak pun gak apa-apa. Cuma kalau saat ini ya bisa jadi mereka terdampak pandemi," terang dia.
Itu pun tidak semuanya, karena analisanya mengatakan beberapa orang tua dari mahasiswa membayar tempat kos ada yang enam bulan sekali bahkan sampai satu tahun.
"Jadi mahasiswa di jogja ada yang bulanan, ada yang enam bulan dan setahun bayar kostnya. Orangtua nggak mau ribet satu tahun. Dan yang bulanan kan tetap bayar bagi mereka yang menitipkan barangnya di kost," terang dia.
Plt Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset (BPKA) DIY, Beny Suharsono, menanggapi banyaknya indekos yang dijual tentu sangat mempengaruhi pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari pajak atau retribusi usaha rumah indekos.
Namun, dia belum bisa memperkirakan berapa besar penurunan pajak yang bersumber dari persewaan rumah indekos tersebut, sebab secara administratif pajak rumah indekos masuk ke pemerintah Kabupaten/Kota.
"Jelas itu berdampak pada pengurangan pajak. Tapi saya belum tahu, karena pajak indekos masuknya di Kabupaten/Kota," kata Beny saat dikonfirmasi Selasa (21/9/2021).
Dia menjelaskan, pendapatan daerah saat ini dikatakan oleh Beny bergantung pada trimester ke tiga tahun ini.
Dipastikan pendapatan dari sektor pajak dan retribusi masih tertinggal jauh dengan sektor ekspor barang rajutan dari DIY.
"Sekarang terus berusaha meningkatkan, kemarin paling tinggi ya dari ekspor rajutan, produk olahan makanan juga. Kami harapkan trimester ketiga nanti biasanya ada kejutan," pungkasnya. (*)