Satgas Covid-19 Beri Penjelasan soal Penghapusan Angka Kematian dari Indikator Penanganan Covid-19

Menurut ahli, dihapusnya angka kematian dalam indikator penanganan Covid-19 oleh pemerintah, dianggap salah dan berbahaya.

Editor: Muhammad Fatoni
Dokumentasi BPBD Kota Yogyakarta
Pemakaman Jenazah COVID-19 di Bantul Ditugaskan pada Warga Terlatih 

Tanggapan Ahli 

Melansir dari kompas.com, ahli epidemiologi Dicky Budiman dalam akun Twitternya @drdickybudiman mengatakan bahwa data kematian adalah ukuran vital kesehatan suatu populasi, memberikan informasi pola penyakit yang menyebabkan kematian dari waktu ke waktu.

"Pola kematian menjelaskan perbedaan & perubahan status kesehatan, mengevaluasi strategi kesehatan, memandu perencanaan & pembuatan kebijakan," tulis Dicky dalam twitnya.

Pemakaman Jenazah COVID-19 di Bantul Ditugaskan pada Warga Terlatih (Dokumentasi BPBD Kota Yogyakarta)
Berkaitan dengan keputusan besar yang diambil pemerintah ini, Kompas.com menghubungi Dicky Budiman secara langsung.

Dicky mengatakan dengan tegas bahwa langkah yang diambil pemerintah ini bukan cuma salah dan keliru, tapi berbahaya.

"Selain salah juga berbahaya. Karena indikator kematian adalah indikator kunci saat ada pandemi atau wabah," kata Dicky dihubungi Rabu (11/8/2021).  

Petugas pemakaman membawa peti jenazah pasien suspect virus corona atau Covid-19 di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur, Kamis (21/5/2020). Pemprov DKI Jakarta telah menyiapkan dua tempat pemakaman umum (TPU) untuk memakamkan pasien terjangkit virus corona (Covid-19) yang meninggal dunia, yakni di TPU Tegal Alur di Jakarta Barat dan TPU Pondok Ranggon di Jakarta Timur. Jenazah yang dapat dimakamkan di sana, yakni yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) dan berstatus positif terjangkit virus corona.
Petugas pemakaman membawa peti jenazah pasien suspect virus corona atau Covid-19 di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur, Kamis (21/5/2020). Pemprov DKI Jakarta telah menyiapkan dua tempat pemakaman umum (TPU) untuk memakamkan pasien terjangkit virus corona (Covid-19) yang meninggal dunia, yakni di TPU Tegal Alur di Jakarta Barat dan TPU Pondok Ranggon di Jakarta Timur. Jenazah yang dapat dimakamkan di sana, yakni yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) dan berstatus positif terjangkit virus corona. (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Dia menjelaskan, indikator angka kematian bukan hanya untuk melihat intervensi di hulu, tapi juga untuk menilai derajat keparahan dari suatu wabah.

Peneliti dan praktisi Kebijakan Keamanan Kesehatan Global di Pusat Kesehatan Lingkungan dan Populasi Griffith University Australia itu melanjutkan bahwa semua penyakit memerlukan indikator kematian, baik itu yang ada kaitannya dengan wabah penyakit atau tidak seperti kanker, stroke, dan diabetes.

Ini perlu dilakukan untuk melihat performa program dalam penanganan penyakit tertentu dan melihat apakah penyakit tersebut menjadi masalah serius atau tidak di suatu wilayah atau negara.

"Ini harus dilihat kematiannya," ungkap dia.

Oleh karena itu, jika indikator angka kematian untuk Covid-19 dihapuskan akan berbahaya.

"Berbahaya karena bisa salah interpretasi, salah strategi, termasuk salah ekspektasi," imbuhnya.

Selain semua pengendalian penyakit memerlukan indikator angka kematian, Dicky berkata, dalam tataran nasional semua negara memerlukan statistik angka kematian yang akurat dan tepat waktu.

"Memang itu idealnya (akurat dan tepat waktu). Tapi bukan berarti kalau enggak akurat dan tepat waktu kemudian dihapuskan, bukan seperti itu," tegasnya.

Dicky yang juga menjadi penasehat bagi Pemerintah Indonesia dalam membuat strategi penanganan pandemi mengatakan bahwa dirinya mengusulkan bahwa manajemen data harus ditingkatkan.

Baca juga: Data WHO : Inilah 5 Penyebab Kematian Tertinggi di Dunia, Serangan Jantung Teratas

Baca juga: Ini Target Waktu WHO untuk Lakukan Vaksinasi 70 Persen Penduduk Dunia

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved