Temuan Dewas, Ternyata yang Usul Pelaksanaan TWK dalam Alih Status Pegawai KPK Adalah BKN

Temuan Dewas, Ternyata yang Usul Pelaksanaan TWK dalam Alih Status Pegawai KPK Adalah BKN

Editor: Hari Susmayanti
dok.istimewa via kompas.com
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 

TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Tes Wawasan Kebangsan(TWK) alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil (ASN) sempat menjadi polemik setelah 75 pegawai dinyatakan tidak lolos.

Kemudian pegawai yang tidak lolos TWK melaporkan pimpinan KPK ke Dewan Pengawas (Dewas), dimana salah satu laporannya berisi dugaan penyelundupan pasal mengenai TWK oleh Ketua KPK Firli Bahuri.

Tak hanya melaporkan ke Dewas, 75 pegawai KPK yang tidak lolos seleksi TWK juga melaporkan pimpinan KPK ke Ombudsman hingga Komnas HAM.

Dewas KPK sendiri langsung menindaklanjuti laporan dari pegawai KPK nonaktif tersebut dengan melakukan pemeriksaan dan pengumpulan bukti.

Pemeriksaan yang dilaksanakan oleh Dewas meliputi pemanggilan sejumlah pihak terkait, baik pelapor, terlapor, perwakilan BKN, Kemenpa RB hingga Kemenkum Ham.

Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Dewas pun sudah dikeluarkan dan menyatakan laporan dari pegawai KPK nonaktif tak cukup bukti sehingga laporan tidak dilanjutkan ke tahap sidang etik.

Selain itu, Dewas juga mengungkap siapa pihak yang mengusulkan adanya tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN.

Anggota Dewas KPK Harjono menjelaskan pihak pertama yang mengusulkan TWK adalah Badan Kepegawaian Negara (BKN).

"Ketentuan mengenai tes wawasan kebangsaan merupakan masukan dari BKN yang pertama kali disampaikan dalam rapat tanggal 9 Oktober 2020 serta dalam rapat harmonisasi KemenPANRB dan BKN," ucap Anggota Dewas KPK Harjono dalam jumpa pers virtual, Jumat (23/7/2021) seperti yang dikutip Tribunjogja.com dari Tribunnews.com dalam artikel berjudul "Dewas Ungkap BKN yang Usulkan TWK untuk Pegawai KPK".

TWK alih status pegawai KPK menjadi ASN diatur dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021.

TWK disoroti lantaran hal itu tidak diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 serta Peraturan Pemerintah 41 Tahun 2020 yang menjadi turunannya.

Aturan soal alih status pegawai KPK menjadi ASN itu baru termuat dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021.

Peraturan itu diteken oleh Ketua KPK Firli Bahuri.

Namun, berdasarkan pemeriksaan, Dewas KPK menyatakan bahwa Firli Bahuri bukan merupakan pihak yang memasukkan pasal mengenai TWK itu.

Dewas menyebut bahwa penyusunan Perkom Nomor 1 Tahun 2021 dibahas bersama seluruh pimpinan KPK dan pejabat struktural.

Ketentuan mengenai TWK tercantum dalam Pasal 5 ayat (4) saat Perkom masih berupa draf tertanggal 21 Januari 2021.

Baca juga: Tak Cukup Bukti, Laporan 75 Pegawai KPK Terhadap Pimpinan KPK Tak Dilanjutkan ke Sidang Etik

Baca juga: Begini Saran Pakar Hukum Kepada Presiden Jokowi Atas Temuan Maladministrasi Alih Status Pegawai KPK

Draf dikirim oleh Sekretaris Jenderal KPK dan disetujui seluruh pimpinan dan disempurnakan pada rapat 25 Januari 2021.

Dewas mengungkapkan bahwa pihak yang pertama kali mengusulkan TWK ialah BKN.

Hal itu disampaikan dalam rapat pada 9 Oktober 2020.

Menurut Dewas KPK, ketika itu BKN meminta tetap ada asesmen wawasan kebangsaan untuk mengukur syarat pengalihan pegawai KPK menjadi ASN terkait kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintahan yang sah.

"(BKN) tidak setuju pemenuhan syarat tersebut hanya dengan penandatanganan surat pernyataan saja," kata Harjono.

Sebagai informasi tambahan, Ombudsman sudah merilis temuan mengenai TWK.

Salah satunya mengenai pelaksanaan TWK oleh BKN.

Ombudsman turut menemukan bahwa BKN menjadi pihak yang mengusulkan aturan dalam Peraturan KPK bahwa TWK dilakukan KPK bekerja sama dengan BKN.

Sehingga dengan demikian, KPK menjadi penyelenggara TWK.

Namun dalam pelaksanaannya, justru BKN yang hampir sepenuhnya melakukannya.

Akan tetapi, menurut Ombudsman, BKN justru tidak kompeten dalam melakukannya.

Baca juga: Dewas Nyatakan Pimpinan KPK Tak Cukup Bukti Langgar Etik Dalam Polemik TWK

Sebab, tidak memiliki alat ukur instrumen dan asesor dalam TWK.

Yang dimiliki BKN punya ialah alat ukur seleksi PNS.

Meski demikian BKN tetap melanjutkannya dengan menggunakan instrumen Dinas Psikologi TNI AD.

Padahal instrumen itu untuk lingkungan personel TNI.

"BKN tidak memiliki atau menguasai salinan dokumen Panglima tersebut, padahal dokumen itu dasar dinas Psikologi AD untuk melakukan asesmen, karena dia tidak memiliki dan menguasai jadi kita sulit untuk memastikan kualifikasi asesor yang dilibatkan, karena BKN tidak punya alat atau asesor tadi jadi mengundang 5 lembaga dalam hal ini Dinas Psikologi, BAIS, Pusintel AD, BNPT, BIN," ujar Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng.

"Ombudsman berpendapat bahwa BKN tidak kompeten. Ini Kalau di Ombudsman inkompetensi adalah salah satu bentuk malaadministrasi," imbuhnya.

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved