Tak Cukup Bukti, Laporan 75 Pegawai KPK Terhadap Pimpinan KPK Tak Dilanjutkan ke Sidang Etik
Tak Cukup Bukti, Laporan 75 Pegawai KPK Terhadap Pimpinan KPK Tak Dilanjutkan ke Sidang Etik
TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Laporan dari 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) ke Dewan Pengawas (Dewas) tak dilanjutkan ke tahap persidangan.
Hasil dari pemeriksaan awal yang dilakukan, Dewas berkesimpulan laporan tersebut tidak cukup bukti sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke persidangan.
Hal itu disampaikan langsung oleh Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam konferensi pers yang dilaksanakan pada Jumat (23/7/2021).
Dikutip Tribunjogja.com dari Kompas.com dalam artikel berjudul "Dewas: Laporan Dugaan Pelanggaran Etik 5 Pimpinan KPK soal TWK Tak Cukup Bukti," Tumpak menjelaskan pihaknya sudah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak terkait dengan laporan dugaan pelanggaran etik Pimpinan KPK.
Mulai dari terlapor, pelapor, perwakilan BKN, Kemenpa RB hingga Kemenkum Ham.
Dari hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan, Dewas tidak menemukan bukti Pimpinan KPK tidak memberitahu konsekuensi gagal dalam pelaksanaan TWK.
Berdasarkan temuan Dewas, Pimpinan KPK sudah menyosialisasikan kepada pegawai tentang TWK dan konsekuensinya.
Adapun dalam pemeriksaan tersebut, setidaknya, ada 42 bukti rekaman dan dokumen yang didalami Dewan Pengawas.
Berdasarkan dari temuan yang diperoleh tersebut, Dewas akhirnya sepakat untuk tidak melanjutkan dugaan pelanggaran etik tersebut ke tahap sidang.
"Dewan Pengawas secara musyawarah dan mufakat berkesimpulan seluruh dugaan pelanggaran kode etik, dan pedoman perilaku yang diduga dilakukan oleh pimpinan KPK, sebagaimana disampaikan dalam surat pengaduan kepada Dewas tidak cukup bukti, sehingga tidak memenuhinya syarat untuk dilanjutkan ke sidang etik," kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam konferensi pers, Jumat (23/7/2021).
Dewas menyatakan, seluruh laporan pegawai tentang pelanggaran etik lima komisioner KPK itu tidak memiliki dasar untuk dilanjutkan ke sidang etik.
Untuk diketahui, semua pimpinan KPK dilaporkan perwakilan 75 pegawai yang gagal dalam TWK ke Dewas. Pimpinan KPK diduga melakukan tiga pelanggaran etik.
Pertama, dinilai tidak jujur saat sosialisasi dari TWK. Kedua, diduga mendukung adanya soal yang berbau pornografi dalam TWK dan terakhir, diduga bertindak sewenang-wenang dalam membebastugaskan para pegawai.
Baca juga: Begini Saran Pakar Hukum Kepada Presiden Jokowi Atas Temuan Maladministrasi Alih Status Pegawai KPK
Baca juga: Beredar Daftar Pegawai KPK Nonaktif yang Akan Ikut Pelatihan Bela Negara, Hotman : Saya Tak Ikut
ORI Temukan Maladministrasi Pelaksanaan TWK
Sementara itu, sebelumnya Ombudsman Republik Indonesia menyebut pelaksanaan TWK alih status pegawai KPK menjadi ASN terjadi maladministrasi.
Kesimpulan tersebut diperoleh setelah ORI melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak atas laporan dari 75 pegawai KPK nonaktif.
Hal itu merupakan hasil dari pemeriksaan yang dilaksanakan oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI) atas aduan 75 pegawai KPK nonaktif.
Dari serangkaian pemeriksaan yang sudah dilakukan oleh ORI, ditemukan adanya maladministrasi dalam alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) tersebut.
"Dan secara umum maladministrasi itu dari hasil pemeriksaan kita memang kita temukan," kata Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih dalam konferensi pers, Rabu (21/7/2021).
Dalam penjelasannya, Mokhamad Najih mengungkapkan pemeriksaan yang dilakukan oleh pihaknya, ada tiga hal yang menjadi fokus utama.
Ketiga hal tersebut yakni berkaitan dengan rangkaian proses pembentukan kebijakan pengalihan pegawai KPK menjadi ASN, proses pelaksanaan dari peralihan pegawai KPK menjadi ASN serta tahap penetapan hasil asesmen tes wawancara kebangsaan.
"Tiga hal inilah yang oleh Ombudsman ditemukan potensi-potensi maladministrasi," ujar Najih.
Oleh karena itu, Ombudsman memandang bahwa temuan atau pun hasil pemeriksaan ini akan disampaikan kepada Ketua KPK Firli Bahuri atau pimpinan KPK RI.
Kedua, Ombudsman juga akan menyampaikan hasil tersebut kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara (Kepala BKN).
"Ketiga adalah surat saran yang kita sampaikan kepada presiden agar temuan maladministrasi yang didapati oleh pemeriksaan Ombudsman ini bisa ditindaklanjuti dan diambil langkah-langkah selanjutnya," ujar Najih.
BKN Tak Kompeten
Dalam kesempatan itu anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng menyebut Badan Kepegawaian Negara (BKN) tidak berkompeten dalam melaksanakan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebab, BKN tidak memiliki instrumen dan asesor untuk melaksanakan alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Dalam pelaksanaannya BKN tidak memiliki alat ukur, instrumen dan asesor untuk melakukan asesmen tersebut, yang BKN punya adalah alat ukur terkait CPNS, tapi tidak terkait peralihan status pegawai KPK," ungkap Robert dalam konferensi pers virtual yang ditayangkan melalui akun YouTube Ombudsman RI, Rabu (21/7/2021).
Robert menjelaskan, karena BKN tidak memiliki instrumen alat ukur peralihan status kepegawaian itu, maka dilibatkanlah Dinas Psikologi Angkatan Darat (AD).
"Karena dia (BKN) tidak punya, harusnya dia tolak, harusnya ya sudah BKN tolak, tapi tidak, BKN justru melanjutkan prosesnya dan kemudian menggunakan instrumen yang dimiliki Dinas Psikologi AD," jelasnya.
Robert memaparkan, karena akhirnya BKN melibatkan Dinas Psikologi AD, instrumen yang digunakan kemudian didasarkan pada Keputusan Panglima Nomor 1078 Tahun 2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penelitian Personil PNS atau TNI di Lingkungan TNI.
"Kembali lagi di lingkungan TNI, dan BKN tidak memiliki dan menguasai salinan dokumen tersebut," kata Robert.
"Padahal dokumen keputusan itu adalah dasar bagi Dinas Psikologi AD untuk melakukan asesmen, karena dia (BKN) tidak memiliki atau menguasai, maka sulit untuk memastikan kualifikasi asesor yang dilibatkan," paparnya.
Padahal, sambung Robert, asesor yang dilibatkan kemudian juga berasal dari BAIS TNI, Pusintel AD, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN).
"Sulit memastikan kualifikasi asesor karena BKN tidak memiliki salinan dokumen keputusan Panglima, untuk mengetahui seperti apa profil kompetensi dan kepemilikan sertifikat kompetensi para asesor ini," ucap dia.
Dalam pernyataannya Robert juga menceritakan bahwa BKN tidak melaporkan pada KPK jika pihaknya tidak memiliki kompetensi dalam melaksanakan asesmen TWK, dan akhirnya melibatkan lima lembaga tersebut dalam melakukan asesmen.
"Karena menurut Perkom Nomor 1 Tahun 2021, pelaksanaan TWK dilakukan oleh KPK bekerjasama dengan BKN, jadi wajib disampaikan (pelibatan 5 lembaga lain) dan itu tidak terjadi," tuturnya.
Robert menyebut, dalam temuan Ombudsman akhirnya BKN hanya berperan sebagai observer atau pemantau jalannya TWK, sementara pelaksanaannya dilakukan oleh asesor dari lima lembaga tersebut.
"Maka Ombudsman berpendapat bahwa BKN tidak berkompeten, dan inkompetensi adalah salah satu bentuk maladministrasi," pungkas dia.
Baca juga: Akses Menuju Malioboro Mulai Dibuka untuk Perlintasan Lalu Lintas
KPK Harus Perbaiki
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memperbaiki perbuatan-perbuatan hukum yang telah diambil dalam kebijakan alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Hal itu menyusul temuan pelanggaran malaadministrasi dalam penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK.
"Di sana ada implikasi-implikasi perbuatan yang harus dipenuhi yaitu perbaikan terhadap proses dan perbaikan terhadap regulasi," Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih dalam konferensi pers, Rabu (21/7/2021).
"Memperbaiki tentang perbuatan-perbuatan hukum yang telah diambil selama ini, jadi tindakan korektif itu adalah langkah pertama yang disampaikan oleh Ombudsman," ucap dia.
Najih mengatakan, laporan yang disampaikan Ombudsman terkait malaadministrasi tersebut merupakan laporan akhir dari hasil pemeriksaan dan belum masuk ke tahap rekomendasi.
Temuan-temuan dan pendapat Ombudsman dalam laporan itu, kata dia, mengikat secara hukum.
"Karena produk yang dihasilkan oleh Ombudsman adalah produk hukum, oleh karena itu harus dipatuhi oleh para penyelenggara publik yang terlapor, yang dapat keluhan dari masyarakat tentang penyelenggaraan pelayanan publiknya," ujar Najih.
Sementara itu, apabila tindakan korektif tidak dilaksanakan oleh KPK, Najih menyebut, Ombudsman akan masuk ke tahap berikutnya, yakni tahap rekomendasi.
Ia mengatakan, rekomendasi adalah produk hukum akhir dari sumber yang wajib dilaksanakan oleh pihak penyelenggara pelayanan publik yang menjadi terlapor.
"Karena rekomendasi Ombudsman adalah produk hukum maka sebagai negara hukum tentu semua aparat para penyelenggara negara, para penyelenggara pelayanan publik patuh hukum, apabila tidak mematuhi rekomendasi Ombudsman, sama dengan tidak patuh hukum," ujar Najih.
"Yang saya tegaskan, Jika seorang pejabat tidak patuh hukum maka sekurangnya dia telah melanggar sumpah jabatan, itu implikasi hukum jelas ada," tutur dia. (*)