Kisah Inspiratif
Pertahankan Cara Tradisional, Mie Lethek Cap Garuda Tetap Diproduksi dengan Tenaga Sapi
Pemilik pabrik mempertahankan cara tradisional ini agar rasa yang dihasilkan tetap terjaga keasliannya.
Penulis: Santo Ari | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM - Di tengah kemajuan teknologi yang menyebar ke semua lini, termasuk sektor pangan, pemandangan berbeda terlihat di sebuah pabrik mi di Dusun Bendo, Kalurahan Trimurti, Srandakan, Bantul.
Di tempat ini, diproduksi Mie Lethek Cap Garuda yang proses penggilingan tepungnya dibantu oleh tenaga sapi.
Berkunjung ke pabrik mi lethek ini seakan kita memasuki mesin waktu, ke masa lalu.
Semua proses pengerjaan dilakukan secara manual.
Para pekerja mengaduk adonan tepung, bersamaan dengan proses penggilingan menggunakan silinder yang digerakkan dengan tenaga sapi.
Sesekali terdengar bunyi pecutan agar sapi dapat terus berjalan mengelilingi alat penggilingan.
Baca juga: Rekomendasi 5 Warung Mie Lethek Enak di Bantul
Tentu saja para pekerja yang mengaduk adonan pun juga harus tetap bergerak mengikuti gerakan sapi.
Yasir Feri Ismatrada (47), pemilik pabrik Mie Lethek Cap Garuda mengatakan bahwa dirinya tetap berusaha mempertahankan cara tradisional ini agar rasa yang dihasilkan tetap terjaga keasliannya.
Ia menceritakan, di tahun 1940-an, Kalurahan Trimurti sisi utara memang merupakan daerah kawasan industri.
Banyak warga keturunan Cina mendirikan industri di sini, satu di antaranya adalah mi lethek.
Kemudian sekitar tahun 1950-an warga keturunan Cina tersebut ditarik ke kota sehingga perusahaan mi lethek hanya tinggal dikelola oleh pribumi saja, satu di antaranya adalah kakek dari Ferry.
"Lambat laun mulai berjatuhan, yang bertahan hanya tempat kakek saya ini, dan diturunkan ke anak-anaknya. Sekarang jadi satu-satunya perusahaan mi lethek tertua," ujarnya.
Ia mengatakan asal dari kata mi lethek ini karena sebutan warga lokal yang melihat mi ini berwarna kecokelatan.
Lethek dalam bahasa jawa berarti dekil atau kusam.
Tapi pada prinsipnya, mie lethek ini terbuat dari tepung singkong atau tepung tapioka.
Baca juga: Rasa Mie Lethek Tak Pernah Berubah
Feri mengakui bahwa di luar sana banyak mi lethek yang proses pengerjaannya menggunakan mesin yang lebih modern.
Tapi hal itu tidak dilakukannya.
Menurutnya, proses pembuatan mi dengan mesin akan mempengaruhi rasa.
"Maka sampai sekarang kita pertahankan secara tradisional, agar rasa dan kualitas tidak berubah. Selain itu, di sini masih mempertahankan sistem tradisional dengan tenaga sapi, karena kalau diubah ke mesin, pertama akan terkendala dalam finansial, dan butuh orang teknik," ujarnya.
Sementara pekerja di sini juga berasal dari kalangan warga sekitar.
Setidaknya Feri mempekerjakan 35 orang warga sekitar.
Warga ini akan bekerja dengan sistem shift mulai dari produksi hingga dapur.
Proses pembuatan mi ini terbilang cukup lama.
Di pagi hari, tepung akan digiling dengan silinder untuk mencampur tepung tapioka dengan tepung gaplek.
Setelah itu kemudian adonan akan dikukus.
Proses silinder kemudian diulangi kembali, dengan tetap mencampur adonan dengan tepung tapioka kering.
Baca juga: Festival Mie Lethek Diharapkan Bisa Dongkrak Ekonomi Warga
Baru setelahnya dilakukan pengrepesan, pemasakan, kemudian baru didinginkan.
Keesokannya mi akan diuraikan untuk dijemur, dan ketika sudah kering dilakukan pengemasan.
Proses produksi yang masih manual ini tentu saja memiliki banyak kendala.
Maka dari itu, dirinya pun tak bisa mematok berapa banyak mi yang bisa dibuat selama per-bulannya.
"Karena kami bekerja dengan sistem sosial, kadang kita libur tergantung oleh tenaga kerja. Kadang produksi seminggu 3 kali, bahkan seminggu sekali. Selain itu ini juga bergantung pada cuaca. Tapi rata-rata per minggu kita bisa buat 1,5 sampai 2 ton," ungkapnya.
Mie Lethek Cap Garuda dijual di pasar-pasar tradisional seharga Rp 90 ribu per lima kilogram.
Feri mengungkapkan bahwa dirinya tidak menjual Mie Lethek Cap Garuda ke restoran-restoran.
"Kalau langsung ke restoran, itu akan menutup rejeki yang lain, kasihan yang konsumen pasar.
Tetangga kanan kiri juga banyak bekerja di pasar-pasar, mereka ambil sini, selain itu kita juga kirim langsung ke pasar," ungkapnya.
Baca juga: Serunya Festival Mie Lethek Lopati di Bantul
Namun demikian, selain dijual di pasar-pasar tradisional, dirinya juga menjual mi tersebut secara online.
Pembelinya berasal dari berbagai daerah seperti Bali, Kalimantan, Bandung, Surabaya dan paling banyak Jakarta.
"Mereka pesan lewat online karena keistimewaan mi lethek yang bagus untuk anak-anak autis sebagai pengganti tepung tergu, dan juga bagus untuk diet," terangnya.
Dengan sistem penjualan dengan online ini ia bisa bertahan saat pandemi COVID-19.
Feri mengatakan bahwa COVID-19 berdampak cukup besar dalam produksi mi lethek.
"Mau tidak mau tenaga kerja juga terkena secara psikis, tidak bisa bekerja maksimal. Termasuk di pasar-pasar juga berpengaruh, permintaan bisa turun 60 persen di awal pandemi. Kita bisa bertahan karena banyak jual di online. Saat ini memeng produksi sudah meningkat, tidak siginifikan, beda seperti sebelum pandemi," tutupnya.( Tribunjogja.com )