Kisah Inspiratif
Kisah Warga Bantul Tertimbun Reruntuhan Selama 15 Menit Saat Gempa Bantul 2006
Bekas jahitan di dahi dan tangannya merupakan kenang-kenangan atas peristiwa gempa bumi yang menggucang Bantul.
Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Luka di dahi dan tangan Wartiyem masih nampak, meski 15 tahun telah berlalu.
Ia mendapat banyak jahitan bahkan sempat kehilangan kesadaran beberapa saat.
Luka itu adalah kenang-kenangan gempa bumi yang terjadi pada 27 Mei 2006 lalu.
Warga RT 03 Padukuhan Potrobayan, Kalurahan Srihardono, Kapanewon Pundong itu menuturkan pagi itu ia sedang memasak di dapur untuk sarapan.
Baca juga: Refleksi 15 Tahun Gempa Bantul, Pemkab Bantul Ajak Masyarakat Kenang Keterpurukan dan Kebangkitan
Ketika pukul 05.55 terjadilah guncangan yang sangat dahsyat.
Tak berpikir untuk keluar menyelamatkan diri, ia justru masuk ke dalam rumah untuk mencari anaknya.
"Saat gempa ya terasa banget. Gempa Bantul 2006 adalah pengalaman gempa paling besar yang pernah saya alami. Pas tahu gempa langsung masuk ke rumah, kan anak saya masih di dalam rumah," tuturnya saat mengikuti acara Refleksi 15 Tahun Gempa Bantul di Tugu Prasasti Episentrum Gempa Bumi Bantul, Kamis (27/05/2021).
Tak lama setelah masuk, tembok rumahnya runtuh.
Tak bisa menghindar, ibu dua anak itu pun tertimpa tembok rumahnya.
Ia hanya bisa pasrah, karena tidak bisa bergerak sama sekali.
Di balik reruntuhan itu, ia hanya bisa merintih kesakitan dan berharap pertolongan.
Guncangan 5,9 skala richter selama 57 detik itu membuat rumahnya luluh lantak.
Baca juga: Refleksi Gempa 5,9 SR di Yogyakarta 15 Tahun Lalu, BPPTKG : Pentingnya Tingkatkan Waspada Bencana
Bagaimana tidak rumah yang ia tinggali tidak jauh dari episentum gempa bumi waktu itu.
"Rumah hancur, saya nggak bisa apa-apa lha wong saya ketiban tembok (tertimpa tembok). Saya tahu ada orang-orang di atas saya, diinjak-injak saya juga tahu, mungkin ada 15 menitan, tapi ya gimana. Suami saya yang kepikiran kalau saya sedang nyari anak saya, jadi berhasil dievakuasi," bebernya.
Setelah berhasil dievakuasi, ia langsung dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat perawatan.
Ia tak ingat pasti bagaimana proses evakuasi berlangsung, hanya saja ketika ia membuka mata, dirinya sudah terbaring di rumah sakit.
Wartiyem tak ingat berapa jumlah jahitan yang ada di dahi dan tangannya. Yang pasti jumlahnya sangat banyak.
"Anak saya yang satu juga tertimpa tembok, tetapi tidak apa-apa, karena kena tempat tidur. Anak saya yang satu lagi sedang mandi, langsung diseret sama suami saya, terus ambil kerudung sekenanya, lalu keluar," lanjutnya.
Pengalaman 15 tahun lalu tidak akan mudah ia lupakan.
Baca juga: BNPB Berencana Bangun Wahana Edukasi Gempa di Bantul
Sebab bekas jahitan di dahi dan tangannya merupakan kenang-kenangan atas peristiwa gempa bumi yang menggucang Bantul.
Dalam peringatan 15 tahun gempa Bantul, Kepala Pelaksana Badana Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bantul, Dwi Daryanto mengatakan refleksi 15 tahun gempa Bantul, bukan hanya mengenang peristiwa pilu yang terjadi 15 tahun lalu.
Tetapi juga untuk mengenang kebangkitan Bantul pasca gempa bumi 5,9 SR tersebut.
"Meskipun gempa terjadi saat pengetahuan masih sangat rendah, minim edukasi, tetapi Bantul berhasil bangkit. Waktu untuk Bantul bisa bangkit adalah dua tahun, ini adalah pemulihan tercepat di Indonesia, bahkan di dunia," ujarnya.
Menurut dia yang membuat Bantul cepat pulih adalah kearifan lokal yaitu gotong royong.
Kekuatan itu tidak bisa dilupakan dan perlu diwariskan kepada generasi penerus. ( Tribunjogja.com )