Tiga Perkara yang Ditolak dan Diterima MK dalam Sidang Permohonan Uji Materi UU KPK

MK memutuskan untuk tidak menerima tiga permohonan uji materi dan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK

Editor: Yoseph Hary W
ANTARA FOTO/RENO via kompas.com
UJI MATERI - Ketua Mahkamah Konsititusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi dua hakim konstitusi Enny Nurbaningsih (kiri) dan Arief Hidayat (kanan) memimpin sidang pendahuluan sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 di gedung MK, Jakarta, Rabu (10/7/2019). Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan pendahuluan terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum DPR-DPRD Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota jakarta (DKI Jakarta) Tahun 2019. ANTARA FOTO/Reno Esnir/ama. 

TRIBUNJOGJA.COM - Permohonan uji materil terkait Pasal 12B ayat (1) UU KPK mengenai izin tertulis Dewan pengawas KPK dalam proses penyadapan termasuk satu dari bagian yang diterima atau dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun selain permohonan uji materiil yang diterima atau dikabulkan MK tersebut, ada pula bagian lain yang ditolak. 

MK memutuskan untuk tidak menerima tiga permohonan uji materi dan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Ketiga permohonan itu diajukan oleh Tenaga Ahli DPRD DKI Jakarta Zico Leonard Simanjuntak dengan empat rekannya.

Baca juga: Hasil Sidang Uji Materil UU KPK: Penyadapan, Penggeledahan, Penyitaan Tak Perlu Izin Dewan Pengawas

Perkara selanjutnya diajukan aktivis anti korupsi Jovi Andrea Bachtiar dengan empat rekannya dan advokat Sholikah bersama 21 rekan advokatnya.

Dalam perkara yang diajukan oleh Zico, mahkamah menyatakan permohonan pasal berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 12D, Pasal 37 Ayat 1 huruf b, Pasal 40, Pasal 47 UU KPK tidak dapat diterima.

"Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan secara daring, Selasa (4/5/2021).

Kemudian pada perkara permohonan yang diajukan oleh Jovi, mahkamah menyatakan permohonan para pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 12B Ayat 1, Pasal 12B Ayat 2, Pasal 12B Ayat 3, Pasal 12B Ayat 4 pasal 37B Ayat 1 huruf b, Pasal 47 Ayat 1, Pasal 47 Ayat 2, Pasal 69 Ayat 1 dan Pasal 69 Ayat 2 UU KPK juga tidak dapat diterima.

Sedangkan, Sholikah mengajukan permohonan uji formil dan materi. Pada uji materi ia mempermasalahkan Pasal 21 ayat 1 huruf a yang mengatur adanya Dewan Pengawas KPK yang dinilai berpotensi mengurangi independensi KPK dan akan melemahkan kewenangan KPK.

Pada aspek formil, Sholikah mempermasalahkan mekanisme penyusunan UU KPK yang seharusnya berpedoman pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Namun dalam prosesnya MK justru menyatakan baik dari aspek formil dan materi, permohonan Sholikah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum dan dinyatakan tidak dapat diterima atau ada juga yang ditolak.

Selain itu, MK juga memutuskan untuk menolak perkara yang diajukan Ricki Martin Sidauruk dan rekannya Gregorianus Agung yang berprofesi sebagai mahasiswa.

Mereka mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang in casu Pasal 43 Ayat 1 UU KPK terhadap UUD 1945.

Mahkamah juga menolak permohonan yang diajukan oleh pengacara bernama Gregorius Yonathan Deowikaputra yang mengajukan permohonan uji formil dan materi UU KPK.

Dalam pengujian formil atas ia mempermasalahkan pembentukan UU KPK terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Sedangkan pada pengujian materi ia mempermasalahkan materi muatan Pasal 11 ayat 1 huruf a sepanjang mengenai frasa "dan/atau" dan Pasal 29 huruf e pada UU KPK terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

"Dalam pengujian formil menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Dalam pengujian materiil menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Anwar.

MK pun juga memutuskan untuk menolak permohonan uji formil yang diajukan oleh eks pimpinan KPK Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang.

Penyadapan, Penggeledahan, Penyitaan Tak Perlu Izin

Diberitakan sebelumnya bahwa permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dikabulkan untuk sebagian oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Awalnya, permohonan uji materil tersebut diajukan oleh sejumlah akademisi.

Mereka yang mengajukan permohonan uji materiil tersebut antara lain Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid, Dekan Fakultas Hukum UII Abdul Jamil, Direktur Pusat Studi HAM UII Yogyakarta Eko Riyadi, dan Direktur Pusat Studi Kejahatan Ekonomi FH UII Yogyakarta Ari Wibowo.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan secara daring, Selasa (4/5/2021), dikutip Tribun Jogja dari kompas.com.

Disebutkan, MK mengabulkan permohonan uji materil terkait Pasal 12B ayat (1) UU KPK mengenai izin tertulis Dewan pengawas KPK dalam proses penyadapan.

Berdasarkan putusan Hakim Konstitusi Aswanto, ia menyebutkan, kewenangan institusi penegak hukum tidak boleh diintervensi serta tidak boleh ada lembaga yang bersifat ekstra yudisial.

Hal itu karena intervensi akan menjadi ancaman bagi independensi penegak hukum dan dapat melemahkan prinsip negara hukum.

Aswanto mengatakan, ketentuan mengenai izin tertulis Dewan Pengawas untuk melakukan penggeledahan dapat mengesankan bahwa pimpinan KPK merupakan subordinat.

Oleh sebab itu, MK menyatakan penyadapan tidak lagi memerlukan izin, namun pimpinan KPK hanya perlu memberitahukan informasi kepada Dewan Pengawas.

“Mahkamah menyatakan tindakan penyadapan yang dilakukan Pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari Dewan Pengawas namun cukup dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas yang mekanismenya akan dipertimbangkan bersama-sama,” kata Aswanto.

Adapun permohonan lainnya yakni mengenai izin terkait penggeledahan dan penyidaan dari Dewan Pengawas. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU KPK.

Menurut Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, penggeledahan dan penyitaan oleh KPK merupakan bagian dari tindakan pro justitia.

Dewan Pengawas tidak termasuk unsur aparat penegak hukum. Dengan demikian, ketentuan izin terkait penggeledahan dan penyitaan dari Dewan Pengawas KPK tidak tepat.

“Frasa 'atas izin tertulis dari Dewan Pengawas' dalam Pasal 47 ayat (1) harus dimaknai menjadi 'dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas',” ucap Enny.

Ada permohonan lain yang dikabulkan MK, yakni uji materil Pasal 1 angka 3 terkait penggunaan huruf kapital dalam frasa 'melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi'.

Pemohon menilai kata 'pencegahan' dan 'pemberantasan' seharusnya diawali huruf kapital. Sebab, penulisan dengan huruf kecil dinilai dapat mereduksi makna pemberantasan korupsi.

(*/ Tribun Jogja /kompas.com)

Artikel tayang di https://nasional.kompas.com/read/2021/05/04/22491011/sidang-uu-kpk-mk-putuskan-3-perkara-ditolak-3-lainnya-tak-dapat-diterima?page=all#page2

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved