Penjelasan Kepala KSP Moeldoko Soal Keputusannya Menerima Jabatan Ketua Umum di KLB Partai Demokrat
Penjelasan Kepala KSP Moeldoko Soal Keputusannya Menerima Jabatan Ketua Umum di KLB Partai Demokrat
TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko kembali bersuara soal keputusannya menerima hasil kongres luar biasa Partai Demokrat di Deli Serdang yang menunjuknya sebagai ketua umum.
Dia mengaku tak ingin membebani Presiden Joko Widodo dengan keputusannya tersebut.
Tak hanya itu, Moeldoko juga menyampaikan kalau dirinya khilaf karena tidak memberitahu istri dan anaknya terkait keputusannya itu.
Penyataan Moeldoko ini disampaikan melalui akun Instagram pribadinya @dr_Moeldoko, Minggu (25/3/2021).
"Terhadap persoalan yang saya yakini benar itu atas otoritas pribadi yang saya miliki, maka saya tidak mau membebani Presiden," terang Moeldoko.
Dalam keterangannya, Moeldoko juga menyebut bahwa dirinya khilaf, karena juga tidak memberitahu istri dan keluarganya terkait keputusan itu.
Namun, Moeldoko menyebut bahwa dirinya selama ini terbiasa untuk mengambil risiko dalam setiap keputusan yang diambil.
Ia juga kembali menegaskan untuk tidak melibatkan Jokowi dalam persoalan itu.
"Saya juga khilaf sebagai manusia biasa, tidak memberitahu pada istri dan keluarga saya atas keputusan yang saya ambil. Tetapi saya juga terbiasa mengambil risiko seperti ini apalagi demi kepentingan bangsa dan negara, untuk itu jangan bawa-bawa Presiden dalam persoalan ini," tegas dia.
Baca juga: Antisipasi Kejadian Pasca KLB, DPC Demokrat Kota Yogyakarta Minta Perlindungan Hukum
Moeldoko juga menjelaskan alasan dirinya mengambil jabatan Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang.
Ia menuturkan, arah demokrasi di tubuh Partai Demokrat sudah bergeser.
Moeldoko juga menyebut ada pertarungan ideologis yang kuat jelang 2024.
"Saya ini orang yang didaulat untuk memimpin Demokrat, dan kemusruhan sudah terjadu, arah demokrasi sudah bergeser di tubuh Partai Demokrat," ungkap Moeldoko.
"Ada sebuah situasi khusus dalam perpolitikan nasional, yaitu telah terjadi pertarungan ideologis yang kuat menjelang 2024, pertarungan ini terstruktur dan gampang dikenali, ini menjadi ancaman menuju Indonesia emas di 2045," sambungnya.
Permasalahan ideologis itu juga terjadi di tubuh Partai Demokrat.