Belajar di Rumah (BDR) Masih Berlanjut, Orang Tua di DI Yogyakarta Khawatir Anak Kecanduan Gawai
Berbagai kendala ternyata masih banyak ditemui, bahkan semakin lamanya BDR menimbulkan permasalahan baru di mata sebagian orang tua.
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Kurniatul Hidayah
Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Hampir satu tahun terakhir sistem belajar di rumah (BDR) diterapkan.
Proses adaptasi masih harus terus dilakukan baik bagi siswa, guru, dan orang tua.
Berbagai kendala ternyata masih banyak ditemui, bahkan semakin lamanya BDR menimbulkan permasalahan baru di mata sebagian orang tua.
Sebagaimana diungkapkan, Warto, salah satu orang tua siswa SD di Gunungkidul.
Pria yang berprofesi sebagai petani ini mengatakan, awalnya ia sangat menyetujui kebijakan BDR yang diterapkan pemerintah.
Baca juga: Jumlah Kunjungan di Pantai Glagah Kulon Progo Selama Imlek Lebih Sedikit Dari Libur Nataru 2021
Sebab, ia pun khawatir dengan penularan Covid-19 di masa-masa awal.
Namun, seiring berjalannya waktu, pada 1-2 bulan BDR diterapkan mulai muncul kebosanan pada anak-anaknya.
Ia mengungkapkan, sebagai orang tua mau tidak mau harus membelikan dan mengadakan alat penunjang BDR, yaitu gawai, untuk anak-anaknya.
Sayangnya, hal itu ternyata menimbulkan efek negatif di sisi lain.
Sejak anak-anaknya memiliki gawai pribadi tersebut, Warto menemukan perubahan perilaku pada mereka.
"Kalau anak zaman dulu sendhiko dawuh. Anak zaman sekarang sangat berbeda sekali, apalagi mereka sudah pegang gawai sendiri. Itu berpengaruh sekali, bahkan pengaruhnya sangat buruk," tuturnya dalam webinar Sonjo Jogja, Minggu (14/2/2021) malam.
"Yang paling tidak enak bagi orang tua rasakan itu adalah dampak negatif setelah dia pegang gawai. Bahkan, ketika sudah tidak BDR lagi saya khawatir kesulitan dari para guru itu bertambah. Mungkin sebelum BDR anak belum terlalu mengenal HP, tetapi setelah pegang sendiri mau enggak mau perhatian ke sekolahnya sudah berubah. Sudah berubah total," sambungnya.
Ia menjelaskan, dari dari segi komunikasi dengan orang tua, dengan sosial masyarakat, anak-anaknya kini sangat berbeda.
Mereka terlihat hanya berkutat dengan gawai seharian tanpa lelah.
"Kalau BDR ini terus berkepanjangan saya sangat khawatir dengan masa depan anak-anak kita. Saya khawatir mereka mulai kecanduan dengan game online," ucapnya.
Warto pun mengkritisi kebijakan pemerintah Gunungkidul yang menutup semua sekolah karena adanya satu sekolah yang terkena Covid-19 beberapa bulan silam.
"Di ujung Gunungkidul kena, seluruh sekolah ditutup. Harapan saya dalam melaksanakan BDR ini berdasarkan zonasi. Jika kompleks sekolah itu masuk zona hijau, enggak usah BDR, tetapi tatap muka. Jadi enggak gebyah uyah, satu kena yang lain ikut ditutup, ini sangat tidak logis," bebernya.
Ia melanjutkan, dirinya menganggap BDR sangat tidak efektif baik dari segi pembelajaran maupun pencegahan penularan Covid-19.
"Saya merasa BDR sangat tidak efektif baik dari segi pembelajaran maupun pencegahan penularan Covid-19. Karena anak-anak tetap main ke mana-mana, sama saja," tandasnya.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Gunungkidul, Kisworo menanggapi curahan hati Warto tersebut.
"Kita semua harus sadar bahwa situasi ini adalah sebuah anomali, semua mengalami, semua terdampak. Banyak orang tua yang tidak melihat peranan sekolah jika suasananya itu tidak tatap muka," ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, perbedaan akses dan kualitas selama BDR sebagaimana dikeluhkan Warto memang betul pihaknya rasakan.
Dari Disdikpora Gunungkidul, ia mengungkapkan, saat awal pandemi pihaknya lebih membidik dari sisi akademik, yakni membuat kurikulum yang dikurangi dan bermakna bagi anak-anak.
Untuk pembelajaran tatap muka, sebenarnya pihaknya sudah membuka ruang kepada sekolah-sekolah untuk melakukannya.
Baca juga: Pendaftaran SNMPTN Dibuka Hari Ini, UGM Buka Kesempatan Bagi 2.000 Lebih Calon Mahasiswa
"Kami coba untuk dibuka, clear bagi sekolah yang siap mengadakan tatap muka dengan protokol kesehatan silakan mengadakan tatap muka. Kami sudah buka ruang, tetapi ternyata sekolah belum ada yang membuka. Karena pertimbangannya kesehatan dan keselamatan anak," bebernya.
Ia menambahkan, dalam ilmu psikologi, manusia adalah makhluk pembelajar.
"Sekarang ini semua pihak, baik siswa, guru, dan orang tua semua sedang dalam proses beradaptasi. Orang tua memberi empati bagaimana mendampingi anak. Kepanikan orang tua itu akan dilihat oleh anak, justru anak itu lebih tertekan," ungkap Kisworo.
Selain itu, tambahnya, kepada para orang tua jika ada persoalan di sekolah, sebenarnya sekolah sudah mempunyai sistem yang rapi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada.
"Ada guru BK (bimbingan konseling), kesiswaan, dan wali kelas yang bisa diajak untuk berkomunikasi jika terjadi masalah," ucapnya. (uti)