Kisah Pras Kiper Legendaris eks PSS Sekaligus PSIM, Bermain Hampir 20 Tahun Sebagi Pemain Pro

Tetapi berbeda dengan Prasetya Soegianto, legenda kiper PSIM Yogyakarta yang hingga saat ini masih berkecimpung di sepak bola.

Penulis: Taufiq Syarifudin | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA/ Taufiq Syarifudin
Prasetya Soegianto saat melatih JK Academy Agency, Senin (1/2/2021). 

Pria dengan tinggi 178 sentimeter itu, menilai jadwal latihan PSIM sangat padat, sehingga waktu untuk mengikuti kuliah jadi berkurang.

Berpindah klub menjadi pilihan terbaik baginya, ia ingin mencari tim yang sesuai dengan jadwal kuliahnya.

PSS Sleman saat itu menjadi klub tempat Pras berlabuh.

Berada di kasta kedua, sesi latihan bersama tim tidak terlalu padat, kuliah secara intensif bisa dilaksanakan olehnya.

Seusai lulus, siapa sangka PSS Sleman yang dibelanya seraya ikut naik kasta, hal ini sekaligus menjadi kado bagi kelulusan Pras di UGM.

Berselang tiga tahun, Pras berpindah klub ke selatan Yogyakarta, Persiba Bantul.

Di sana ia berkarir selama satu tahun, dan berhasil membawa tim ke Divisi 1.

Di tahun selanjutnya, Pras merasakan bermain bersama Persibat Batang selama satu tahun.

Namun hatinya selalu tertambat di Yogyakarta, ia kembali ke PSIM di Divisi Utama dan bermain selama tiga tahun.

"PSIM itu paling membekas bagi banyak anak, jadi pemain PSIM hanya sebatas impian, suatu hal yang mustahil," lanjutnya.

Sebagi pemain sepak bola, Pras adalah pemain yang bertahan paling lama dari teman seangkatannya.

Hampir 20 tahun, Pras menjadi andalan klub yang dibelanya.

Ia juga menjadi saksi bagaimana dinamika suporter di Yogyakarta sangat rukun ketika itu, bahkan setiap daerah di DIY saling mendukung di setiap pertandingan.

Baca juga: AC MILAN: Rossoneri Bakal Gantikan Stefano Pioli dengan Pep Guardiola?

Di PSIM, ada sosok pelatih yang paling ia idolkan, yakni Berce Matulapelwa, pelatih yang dinilai dapat membawa tim menjadi lebih baik dan membuat pemain yang biasa saja menjadi luar biasa.

Namun, tak bisa disangkal, Pras pernah sangat membenci sepak bola ketika adanya dualisme kompetisi antara Liga Primer Indonesia (LPI) dan Indonesia Super League (ISL), kemudian timbul dualisme klub.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved