Pendidikan

Sekolah Tatap Muka Mulai Januari 2021, Pakar Kebijakan Pendidikan UNY : Butuh Rambu-Rambu yang Jelas

Kebijakan yang hanya bersifat membolehkan membuka pembelajaran tatap muka dinilai tidak adil karena tidak memiliki rambu-rambu yang jelas.

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Suluh Pamungkas
ilustrasi 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Mulai Januari 2021 atau awal semester genap tahun ajaran 2020/2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim telah memperbolehkan sekolah melaksanakan pembelajaran tatap muka dengan memenuhi syarat tertentu.

Nadiem pun mengharapkan sekolah-sekolah mulai mempersiapkan diri sejak sekarang hingga akhir tahun untuk pergantian model pembelajaran.

Kebijakan pembukaan sekolah secara tatap muka dan terbatas ini merupakan hasil dari Keputusan Bersama Mendikbud, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran pada tahun ajaran 2020/2021 di masa pandemi COVID-19.

Nadiem menekankan, pembelajaran tatap muka ini diperbolehkan, tetapi tidak diwajibkan.

Baca juga: Mendikbud RI Perbolehkan Belajar Tatap Muka di 2021, Sekda DIY Tak Ingin Ada Klaster di Sekolah

Pasalnya, keputusan ini dibuat untuk disesuaikan kembali dengan kebutuhan serta kondisi daerah masing-masing.

Pakar Kebijakan Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Arif Rohman turut memberi tanggapan terkait hal ini.

Menurutnya, dari segi kebijakan pemerintah, pernyataan Mendikbud ini kurang tepat.

Sebab, kebijakan seharusnya memiliki bentuk tertulis dan mendetail, sehingga dapat menjadi aturan bersama.

“Kalau dulu SKB (surat keputusan bersama) 4 Menteri menyatakan sistem pembelajaran daring, sekarang ini harus dengan peraturan yang sama,” ujarnya kepada Tribunjogja.com, Jumat (20/11/2020).

Ia melanjutkan, selain itu, kebijakan yang hanya bersifat membolehkan membuka pembelajaran tatap muka dinilai tidak adil karena tidak memiliki rambu-rambu yang jelas.

Baca juga: Mendikbud Nadiem Makarim Beri Izin Sekolah Tatap Muka Mulai Januari 2021, Namun Ini Syaratnya

Arif mengungkapkan, seharusnya terdapat peta yang jelas mengenai sekolah dan daerah yang boleh melaksanakan pembelajaran daring atau luring.

“Kalau hanya sekadar membolehkan kalau bahasa agamanya sunah, ini tidak adil, antara ya dan tidak. Harus ada peta yang jelas sebagai rambu-rambu. Peta secara komprehensif dibutuhkan terkait pembelajaran secara daring dan luring. Kalau ini daerah juga akan ragu-ragu, secara policy (kebijakan) ini tidak tepat,” ungkapnya.

Arif menambahkan, dari sisi pendidikan kebijakan ini kurang edukatif karena memberi ruang yang terbuka.

Pada level sekolah, menurutnya, regulasi ini belum bisa diikuti secara pasti.

“Kalau misalnya 87 persen yang selama ini online lalu dibuat offline itu harus dipetakan juga. Karena yang daring itu masih banyak yang merah, misalnya DKI Jakarta. Jangan ambil risiko. Pak menteri perlu menyiapkan setelah itu,” bebernya.

Baca juga: Jadwal PPPK dan CPNS 2021 - Mendikbud Pastikan Tes Online Pengangkatan Guru Honorer

Di level daerah, lanjut Arif, walaupun sudah menerapkan pembelajaran luring, harus ada habituasi baru tentang protokol kesehatan.

Adaptasi kebiasaan baru perlu diedukasi kepada guru-guru dan siswa-siswa.

Diperlukan pula aturan baku dari kepala dinas kepada sekolah-sekolah tentang prosedur pembukaan pembelajaran tatap muka. Terlebih, kapasitas kemampuan kepala sekolah berbeda-beda.

“Agar aturan bisa dijalankan sebaik-baiknya. Kalau perlu zero effect,” imbuhnya.

Di sisi lain, Arif mengakui adanya kerinduan para siswa maupun orang tua untuk pembelajaran tatap muka kembali.

Namun, bagi daerah yang masih nyata rawan penularan COVID-19, ia mengimbau harus berhati-hati. (TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved