PSS Sleman
Mengenal Lebih Dekat Fisioterapis PSS Sleman, Lutfinanda Amary
Menjadi fisioterapis timnas U-19 Indonesia merupakan satu di antara pengalaman terbaiknya sepanjang karier sebagai fisioterapis sepak bola.
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM - Kehadiran fisioterapis dalam sebuah tim menjadi sebuah kebutuhan yang sangat penting.
Perannya sebagai pendamping pemain cedera sangat dibutuhkan oleh pelatih.
Dari tangannya, cedera pemain bisa lebih cepat dipulihkan.
Bicara soal fisioterapis, ada satu sosok yang musim ini baru bergabung menjadi bagian dari klub PSS Sleman.
Ialah Lutfinanda Amary.
Pria asal Jakarta ini menceritakan awal mula dirinya meniti karier sebagai fisioterapis.
Baca juga: Bangkit dari Cedera, Arthur Irawan : Saya 100 Persen untuk PSS Sleman
Semua berawal saat ia bekerja di sebuah sport clinic seusai merampungkan kuliah.
Nah di sport clinic tersebut, ia berkesempatan menangani mantan kapten tim nasional Indonesia, Ponaryo Astaman yang saat itu berkutat dengan cedera.
"Lulus kuliah saya kerja di sebuah klinik swasta yang memang concern di pelayanan kepada atlet atau pehobi olahraga. Lalu di klinik itu saya ketemu Ponaryo yang ketika itu mengalami cedera hamstring," ujar Lutfi dilansir dari kanal Youtube klub berjuluk Super Elang Jawa ini.
"Nggak lama dari situ, ada telpon dari manajemen Borneo FC kemudian 'take over' saya. Kalau saya curiganya dari dia sih (Ponaryo), nggak mungkin kontak saya ada yang punya di sana," tambahnya.
Singkat cerita, setelah empat musim bersama Borneo FC sejak tahun 2015, Lutfi kemudian memutuskan mundur.
Ini tak lepas dari keinginannya untuk lebih dekat bersama sang istri yang bekerja di Jakarta.
Baca juga: Liga 1 Bergulir Tahun 2021, Pemain Asing PSS Sleman Masih Bertahan di Sleman
"Sebelum itu saya menikah dan istri saya hamil. Baru hamil dua bulan, kemudian istri saya keguguran. Itu cukup memukul saya karena saya jauh di luar kota tidak bisa memberikan support dan sebagainya. Tapi di situ saya berikrar, kalau diberi kepercayaan lagi sama Allah untuk memiliki momongan, saya mau keluar dari Borneo," ujar Lutfi.
"Kemudian setelah resign dan keluar secara baik-baik. Kemudian di calling coordinator medical di timnas buat dampingin timnas u-19, dan itu rekomendasi Coach Fachri Husaini," lanjutnya.
"Jadi setahun sebelumnya saya pernah ngisi bareng kursus kepelatihan lisensi C dan D lisensi di Samarinda. Dia (Coach Fachri Husaini) instruktur dan saya dari sisi medicalnya gitu. Kemudian saya ambil, tanpa mengorbankan janji saya karena bersama timnas U-19 lebih banyak waktu di Jakarta," jelas Lutfi.
Diakui Lutfi, menjadi fisioterapis timnas U-19 Indonesia merupakan satu di antara pengalaman terbaiknya sepanjang karier sebagai fisioterapis sepak bola.
Apalagi, sejak kecil ia memang bercita-cita menjadi seorang pesepak bola.
Namun ia tidak mendapatkan restu dari orangtua lantaran stigma negatif masa depan pesepak bola dinilai tak menjanjikan.
"Memang dari awal pecinta sepakbola jadi pengen suatu saat bisa berkontribusi untuk negaranya, salah satunya lewat sepak bola seperti itu. Satu dari tujuan besar saya Alhamdulillah udah saya rasain sih kemarin dampingin Timnas Indonesia U-19 di kualifikasi piala Asia. Pas anthem beda banget ketika kita ada di tribun, terus pas kita lolos itu rasanya nggak ketahan lagi, seperti telenovela," lanjutnya.
Baca juga: Nasib Kompetisi Belum Jelas, Pemain PSS Sleman dan PSIM Yogyakarta Berburu Lisensi Kepelatihan
Meski bergabung ke PSS Sleman musim ini, bukan berarti Lutfi tak punya cerita bersama klub berjuluk Super Elang Jawa ini.
Sebab, ia pernah mendapat sorakan dari seisi Stadion Maguwoharjo saat masih menjadi fisioterapis Borneo FC lantaran sengaja mengulur waktu ketika kedua tim bertemu di Piala Indonesia 2018/2019 lalu.
"Saya pernah away ke Persebaya dengan Boneknya, Persib dengan Bobotohnya, Persija dengan Jakmania, dan Arema dengan Aremanianya. Tapi Sleman Fans dan BCS ini punya taste yang berbeda. Kelompok suporter yang punya sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata," ujar Lutfi.
Nah ditanya targetnya bersama PSS Sleman, Lutfi berharap stakeholder di PSS Sleman paham bahwa konsep pelayanan medis itu sebenernya vital perannya.
"Itu target saya paling utama karena dengan berangkat dari sana teman-teman di PSS Sleman akan mengerti bahwa pemain gak cuma sekedar pemain. Dia sebenernya aset buat sebuah tim dan aset sebuah tim itu bukan cuma dengan kontrak yang besar, fasilitas yang lengkap. Tapi kondisi fisiknya, kondisi kesehatannya, kondisi si dia ketika sebelum bergabung dan sesudah bergabung nanti akan seperti apa," ujar Lutfi.
"Nggak mungkin ada pemain top ketika kondisinya nggak di level yang top," tambahnya.
Baca juga: Kiper Muda PSS Sleman, Dimas Fani, Seimbangkan Karier Sepak Bola dan Pendidikan
Fisioterapis, Ilmu Medis Pasti Tapi Art dan Science
Bagi Lutfi, fisioterapis merupakan ilmu medis yang pasti.
Namun ada art dan science di dalamnya.
"Karena setiap fisioterapis punya stylenya sendiri. Nah ini satu yang menarik dari fisioterapis, kalau tenaga medis lain mungkin sama ya (penanganannya), ketika panas dikasih paracetamol. Tapi kalau fisioterapis tujuannya sama tapi approachnya bisa berbeda beda. Karena kalau pendahulu kita bilang kita ini ilmu medis pasti tapi art and science. Treatment kita exercise dan andalan kita healing time dari proses kesembuhan alami," ujar Lutfi.
Namun sebagai fisioterapis sepak bola, ada tantangan sekaligus tanggung jawab berat yang juga harus ia emban.
Sebab, fisioterapis sepak bola memiliki goal yang berbeda dibanding fisioterapis di rumah sakit maupun klinik.
"Jadi tidak sekadar mengembalikan mereka bisa berdiri, duduk dan berjalan enak, tapi harus bisa mengembalikan mereka berlari. Goal kita, kalau mereka sebelum cedera bisa berlari 100 meter dalam waktu 5 menit, nah setelah cedera juga mampu mencapai itu. Itu yang disebut 100 persen recovery," jelasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)