9 Tahun Menghuni Huntap, Warga Lereng Gunung Merapi Masih Mengalami Masalah Administrasi

Sebagian warga lereng Gunung Merapi yang semula tinggal di kawasan rawan bencana (KRB), pasca erupsi besar 2010

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Kurniatul Hidayah
IST
Kepala Dusun Srodokan Gungan Huntap Dongkelsari, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Totok Hartanto. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Sebagian warga lereng Gunung Merapi yang semula tinggal di kawasan rawan bencana (KRB), pasca erupsi besar 2010 memilih pindah tempat tinggal atau relokasi di hunian tetap (huntap) baru.

Kepala Dusun Srodokan Gungan Huntap Dongkelsari, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Totok Hartanto mengatakan semula ia dan warganya tinggal di dusun yang berlokasi 13 kilometer dari puncak Gunung Merapi dan berbatasan langsung dengan Kali Gendol.

“Lokasi kami 13 km dari puncak tapi berbatasan langsung dengan Kali Gendol. Selama ini kami tidak menyangka kalau harus terdampak,” ujar Totok dalam Webinar bertajuk ‘Praktik Baik dari Merapi’ yang diselenggarakan BPPTKG, Kamis (29/10/2020).

Meskipun sudah sembilan tahun Totok dan warganya menghuni huntap di kawasan yang lebih aman sejak 2011, hingga kini mereka masih mengalami banyak permasalahan.

Baca juga: Masih Ada 523 KK Warga Lereng Gunung Merapi yang Tinggal di Zona Merah

“Ada permasalahan yang timbul setelah menempati huntap karena tidak bisa memenuhi semua KK (kepala keluarga), di situ hanya ada 157 rumah. Sedangkan, warga kami 230-an KK. Sisanya ada yang di huntap mandiri ada juga yang menolak relokasi atau masih di dusun lama, ada juga yang tinggal di huntap Gondang 3,” urainya.

Masalah lain, ialah terkait administrasi. Menurut Totok, warga dusunnya masih memiliki KTP dan KK yang beralamat di dusun lama. “Kami sudah 10 tahun tapi dengan alamat saja masih kebingungan,” tuturnya.

Hal lain, lanjut dia, setelah menghuni huntap ternyata kesenjangan sosial antar warga semakin terlihat.

Bagi warga yang mampu, huntap sudah banyak direnovasi. Tetapi bagi yang kurang mampu, tetap seperti bangunan 2011.

“Permasalahan yang belum terpecahkan, dari bangunan 6x6 meter itu sudah ada yang ditinggali lebih dari 2 KK, lah itu kalau terus-menerus penuh lalu mau tinggal di mana. Ada beberapa bahkan yang tidur di dapur,” ungkapnya.

Baca juga: Libur Panjang, Pelancong dengan Moda Bus Sepi di Yogyakarta Peminat

Di huntap, warga juga belum bisa beradaptasi dengan kontrak sosial yang ada, semisal tidak boleh memelihara ayam.

“Padahal orang desa itu ATM-nya ya ayam, tanaman. Untuk beli sepatu anaknya harus jual ayam dulu,” imbuh Totok.

Sementara, tinggal di huntap memerlukan biaya hidup yang lebih tinggi.

Sebab, warga memerlukan kendaraan untuk bekerja yang sebagian masih harus ke dusun lama dan kemana pun.

“Selain itu, kalau dulu sampah tinggal dibakar, sekarang harus membayar. Air dulu tinggal nimba sekarang harus bayar,” ucapnya.

Totok menambahkan, warga perlu melakukan banyak strategi untuk hidup di huntap.

Di antaranya, warga berusaha untuk menjaga kearifan lokal yang ada, semisal gotong royong dan kenduri.

Walaupun, di huntap warga sulit melakukan gotong-royong karena tidak memiliki lahan yang luas seperti di kampung sebelumnya.

Warga juga tetap melakukan peningkatan kapasitas kebencanaan meskipun sudah jauh dari alur Kali Gendol. (uti)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved