Kolom Bawaslu DIY
Netralitas ASN Dalam Pilkada
Pada tahapan ini, kerentanan yang sering dimanfaatan oleh pasangan calon yaitu terkait netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN).
5) mendeklarasikan diri sebagai paslon kepala daerah/wakil kepala daerah tanpa cuti di luar tanggungan negara;
6) memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah;
7) mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan (pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, dan pembagian barang), termasuk penggunaan barang terkait jabatan atau milik pribadi untuk kepentingan bapaslon atau paslon;
8) ikut sebagai pelaksana sebelum atau sesudah kampanye; 9) menjadi peserta kampanye dengan memakai atribut partai/atribut PNS/tanpa atribut dan mengerahkan PNS atau orang lain;
10) mengikuti kampanye bagi suami atau istri calon kepala daerah yang berstatus sebagai ASN dan tidak mengambil cuti diluar tanggungan negara;
11) memberikan dukungan kepada caon kepala daerah (calon independen) dengan memberikan KTP;
12) ikut sebagai peserta kampanye dengan fasiltas negara;
13) menggunakan fasilitas negara yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
14) membuat keputusan yang dapat menguntungkan /merugikan pasangan calon selama masa kampanye;
15) menjadi anggota atau pengurus partai politik.
Pada sisi yang lain, sebetulnya UU Pemilihan telah secara tegas mengatur sanksi terhadap pelanggaran netralitas ASN. Hal ini termaktub dalam Pasal 188 UU Pemilihan yang menyebutkan:
“Setiap pejabat negara,pejabat aparatur sipil negara, dan kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp600.000 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000 (enam juta rupiah)”.
Dengan berbagai instrumen yang telah membatasi ruang gerak bagi ASN untuk terlibat politik praktis tersebut, harapan ke depan, ASN tidak menggunakan jabatan dan kewenangannya untuk menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon kepala daerah. (*)