Cerita Dalang Perempuan Asal Daerah Istimewa Yogyakarta, Pernah Salah Suara
Dia adalah Ninda Rohmi Astika Mukti (15), pewayang muda asli Gunungkidul yang menjadi satu-satunya peserta perempuan pada perlombaan wayang
Penulis: Nanda Sagita Ginting | Editor: Iwan Al Khasni
Tribunjogja.com Yogyakarta --- Suara alunan gamelan begitu nyaring terdengar ketika memasuki ruang pertunjukan seni di Taman Budaya Yogyakarta pada Jumat (28/08/2020).
Terlihat di panggung, seorang dalang anak perempuan berbaju kebaya berwarna merah dengan sanggul menghiasi kepalanya bak putri Jawa. Tengah asik memainkan karakter wayang seirama dengan lantunan musik khas Jawa itu.
Tangan kecil dan gemulainya nampak begitu cekatan menggerakan tiap karakter pewayangan. Sesekali nada suaranya naik turun menggambarkan emosi tokoh wayang yang ditampilkan.
Dia adalah Ninda Rohmi Astika Mukti (15), pewayang muda asli Gunungkidul yang menjadi satu-satunya peserta perempuan pada perlombaan wayang yang digelar oleh dinas kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Ninda sapaan akrabnya sudah belajar menjadi dalang sejak ia masih duduk di kelas 4 sekolah dasar (SD). Kini, siswa SMK disalah satu sekolah terbaik di Yogyakarta itu sudah menorehkan berbagai prestasi khususnya dalam seni pendalangan.
"Kalau belajar wayang itu memang karena tertarik dengan tokoh-tokohnya. Dari situ mulai ikut belajar di Sanggar. Awalnya, sempat ragu karena biasanya dalang itu kebanyakan laki-laki," jelasnya kepada Tribunjogja.com, pada Jumat (28/08/2020).
Namun, setelah diyakinkan oleh pelatih sekaligus Sanggar tempatnya belajar kalau perempuan juga bisa menjadi dalang.

Dirinya pun semakin semangat untuk terus belajar. Terbukti, setelah empat bulan belajar di Sanggar dirinya sudah dipercaya untuk tampil pada pementasan kecil di sekolahnya.
Siapa sangka, pementasan kecil di sekolahnya ternyata menjadi batu lompatan Ninda untuk dapat tampil di pentas pertunjukan yang lebih besar.
Tak perlu menunggu lama, tiga bulan setelah pementasan pertamanya. Dinda kembali dipercaya untuk menampilkan aksinya dalam melakonkan tokoh-tokoh pewayangan di tingkat kabupaten yaitu Gunungkidul.
"Ketika selesai penampilan di sekolah. Ternyata, ada lomba dalang anak di tingkat Kabupaten. Di situ senang sekali karena dipercaya sebagai satu diantara peserta yang bisa tampil lagi," jelas gadis kelahiran 6 November 2006 itu.
Pada pentas keduanya, Ninda berhasil meraih juara terbaik kedua dengan membawakan cerita tentang Gatot Koco Lahir.
Namun, dirinya bukanlah orang yang cepat puas akan sesuatu. Ninda terus belajar hingga akhirnya pada pementasan keempatnya dirinya berhasil keluar menjadi juara pertama perwakilan kabupatennya untuk melangkah menuju tingkat provinsi.
"Jadi yang ikut lomba hari ini karena kemarin menang tingkat kabupaten. Ada 10 peserta, sembilan diantaranya laki-laki semua, cuma aku saja yang perempuan," ujarnya.
Meskipun, perlombaan itu mayoritas diikuti kalangan laki-laki. Tak membuat, nyali Dinda menciut malah membuatnya semakin semangat.
Pilihan cerita yang ditampikan Dinda pun tak sembarang pada pementasan kali ini. Ia memilih cerita tentang Kikis Tunggarana yang bercerita tentang perebutan kekuasaan.
"Ini salah satu cerita yang cukup sulit dibawakan dibandingkan dengan sebelumnya. Soalnya di sini karakter tiap tokohnya sangat intens. Perlu konsentrasi tinggi agar gerakan dan materi tidak lupa," terangnya.
Tak hanya itu, pengaturan suara pun harus dikontrol dengan penuh kehati-hatian. Salah sedikit, cerita yang dibawakan bisa tak tersampaikan dan pastinya berpengaruh kepada yang lain seperti pemain musik gamelan dan pesinden.
Kesulitan yang dihadapi ketika tampil di panggung, kata Ninda, selain konsentrasi biasanya menggerakkan karakter tokoh wayang.
"Wayang itu kan ada yang berat. Biasanya, kesulitannya di situ karena butuh tenaga lebih supaya pada saat mengangkat wayang bisa digerakkan sesuai cerita dan lakon yang akan diperankan," ujarnya.
Butuh waktu empat bulan baginya, untuk bisa mahir menggerakan wayang yang bobotnya bisa mencapai 3,5 kilogram per wayangnya.
Latihan rutin pun tetap harus dijalaninya. Setiap hari minimal 1 jam dirinya harus menggerakan ataupun sekadar melatih suara tiap tokoh pewayangan.
"Harus latihan terus, kalau tidak bisa kaku. Malahan bisa pula sampai lupa suara tokoh wayang. Memang kuncinya harus tekun," ujarnya.
Ninda mengatakan, tak semua pentas wayang yang diikutinya berjalan sempurna. Pernah, sewaktu mengikuti lomba di suatu kegiatan dirinya lupa mengganti suara tokoh pewanyangan.

"Pernah ada cerita lucu, ketika tampil di suatu lomba. Saat itu, lupa mengganti suara seharusnya suara buto malah yang keluar suara putri raja yang halus gemulai. Tentunya, mengundang penonton untuk tertawa, malu sekali saat itu," ungkap gadis yang memiliki hobi menulis ini.
Namun, momen kegagalan yang pernah dihadapinya membuat Ninda belajar lebih banyak lagi.
"Dari kesalahan yang lalu bisa banyak belajar untuk saat ini. Sekarang, untuk tampil sudah tidak pernah rasakan grogi lagi. Yang penting lakukan yang terbaik dan semaksimal mungkin. Soal menang atau tidaknya urusan belakang, kan sudah berusaha," pungkasnya. ( Tribunjogja.com | Nanda Sagita Ginting )