Sensor Mandiri Agar Tontonan Konstruktif dan Positif
Sensor mandiri adalah upaya yang dilakukan anggota masyarakat untuk memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia.
Dikatakan Rommy, LSF menyadari bahwa film bukan sesuatu yang matematis, karena merupakan produk seni budaya yang membutuhkan cita, rasa, dan karsa tertentu.
Konsekuensi Konvergensi
Ketua Umum JMSI Teguh Santosa dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa sensor mandiri adalah konsekuensi dari konvergensi media yang tengah terjadi.
Teguh mengutip buku karya Yasraf Amir Piliang yang berjudul “Sebuah Dunia yang Dilipat” yang ditulis tahun 1998. Di dalam buku itu antara lain diilustrasikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang membuat dunia dapat dilipat seperti kertas dan disimpan di dalam saku.
“Dengan demikian, ia (sensor mandiri) menjadi semacam software yang harus dimiliki setiap individu yang berinteraksi dengan dunia digital,” ujar Teguh.
“Sehingga setiap tontonan yang kita saksikan berdampak positif dan konstruktif, tidak destruktif, apalagi bagi bangsa yang sangat beragam ini,” sambungnya.
LSF, sambungnya, dapat melakukan sensor untuk film-film yang ditayangkan di bioskop. Tetapi “gunting sensor” LSF tidak dapat menjangkau tayangan-tayangan yang disebarkan dengan menggunakan platform digital, seperti oleh Netflix atau Youtube.
Adapun sineas Lola Amaria mengatakan, proses pembuatan film memakan waktu yang cukup lama. Dalam proses pembuatan, film maker sangat berhati-hati. Sineas juga memiliki kesadaran untuk melakukan sensor mandiri atas karya-karya film yang diproduksi.
“Saya sebagai pembuat film sangat sadar bahwa film yang saya buat ini masuk akal dan penuh dengan pertimbangan yang ukurannya bukan lagi (memenuhi kriteria) sensor oleh LSF, tetapi disensor oleh diri sendiri karena tanggung jawabnya ke masyarakat. Sebagai sineas saya menjaga agar efek yang sampai ke masyarakat positif,” urai Lola Amaria. (rls)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/webinar-sensor-film.jpg)