Laboratorium Berisi Ribuan Sampel Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta

Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Yogyakarta

Penulis: Kurniatul Hidayah | Editor: Iwan Al Khasni
Christof STACHE / AFP
Menguji Sampel Corona 

Tribunjogja.com Yogyakarta -- Di balik peningkatan kasus positif Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) setiap hari, ada sosok wanita tangguh yang memastikan semua sampel virus diperiksa dengan benar.

Selain itu, dia juga menjadi wanita pertama yang tahu jumlah kasus positif setiap harinya, yakni Kepala BBTKLPP Yogyakarta Dr dr Irene MKM.

Berbincang mengenai Covid-19, memang tidak ada habisnya. Tapi tak banyak yang tahu, bagaimana proses hingga suka duka mereka yang memegang kendali penting untuk membaca ribuan virus SARS-CoV-2 dalam kondisi hidup di laboratorium untuk bisa melaporkan hasil pasien yang positif hingga negatif.

Tribunjogja.com mendapatkan kesempatan untuk duduk bersama Kepala Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Yogyakarta Dr dr Irene MKM yang berkenan membagi kisahnya mempimpin 30 staf di lab Bio Safety Level (BSL) 2 yang menjadi lab pertama di DIY untuk memeriksa sampel Covid-19.

Wanita yang sudah tiga tahun terakhir menjabat sebagai kepala tersebut, mengatakan BBTKLPP Yogyakarta menjadi satu-satunya lab yang memeriksa sampel Covid-19 di DIY dan sebagian Jateng yang buka setiap hari tanpa mengenal libur akhir pekan atau tanggal merah nasional sejak ditunjuk pada 17 Maret 2020.

"Staf kami bekerja 15 jam sehari dibagi dua shift. Jam kerja dimulai pukul 06.00 dan mereka pulang pukul 23.00-23.30 setiap harinya," ungkap Irene ketika ditemui di ruang kerjanya di BBTKLPP Yogyakarta Jalan Wiyoro belum lama ini.

Lebih lanjut, Irene menjelaskan ada tiga tim yang bekerja di lab Covid-19. Tim pertama adalah pembongkaran aliquot dan coding. Aliquot yakni mengambil sampel sesuai yang dibutuhkan lalu dilanjutkan pemberian nomor dan nama.

"Itu harus hati-hati sekali karena kalau nggak hati-hati sampel bisa ketuker dan akan ketuker dari awal sampai akhir. Selait itu juga dibutuhkan kemahiran pipeting untuk menakar kebutuhan berapa," ucapnya.

Selanjutnya tim kedua yakni bertugas melakukan ekstraksi memisahkan RNA virus. Kemudian tim yang ketiga yakni tim PCR yang bertugas melakukan master mix, memberikan reagen PCR, dan membaca hasilnya.

"Itu yang mereka lakukan jadi setiap tim butuh orangnya sendiri," tuturnya.

Irene pun membagikan cerita bahwa hari-hari ini sampel yang masuk ke laboratoriumnya sangat banyak. Satu kabupaten saja, jelasnya, bisa mengirim 500-600 sampel per hari. Sementara kemampuan BBTKLPP Yogyakarta mengeluarkan 900-1.000 hasil pemeriksaan setiap harinya.

"Misal tanggal 15 Juli masuk 1.631 sampel, tanggal 22 Juli masuk 1.126 sampel. Jadi itu kadang-kadang tidak terkejar di kecepatan hasil. Pada 24 Juli ada sekitar 3.000 sampel yang mengantre untuk kami periksa," beber wanita kelahiran Padang Sumatera Barat pada 3 Juni 1972 tersebut.

Kepala BBTKLPP Yogyakarta Dr dr Irene MKM
Kepala BBTKLPP Yogyakarta Dr dr Irene MKM (TRIBUNJOGJA.COM / Kurniatul Hidayah)

Irene buka-bukaan bahwa setiap hari staf laboratorium BBTKLPP Yogyakarta merunning 10 batch sampel Covid-19, di mana 1 batch berisi 96 sampel yang diperiksa.

Dengan 2 alat PCR yang dimiliki, maka masing-masing mesin bekerja untuk 5 batch. Proses master mix hingga keluar hasil untuk 1 batch sampel, imbuhnya, membutuhkan waktu 3 jam.

"Artinya untuk 10 batch dengan dua mesin yang kami miliki, itu masing-masing mesin 5 batch jadi waktunya pas 15 jam menghasilkan 940 sampel. Sekali masuk 96 sampel tapi kurangi kontrol negatif dan positif jadi 94 sampel," jelasnya.

Sebelumnya, BBTKLPP Yogyakarta hanya memiliki 1 mesin PCR dengan kapasitas menguji 96 sampel. Namun ia melakukan efisiensi anggaran dan melakukan pengadaan mandiri dan membeli satu alat PCR untuk mempercepat kinerja dan demi mendapatkan hasil dalam waktu sesegera mungkin.

"Saya sudah minta ke BNPB, tapi belum dapet-dapet," ucap wanita yang menyelesaikan pendidikan terakhir S3 Epidemiologi Kesehatan Lingkungan di Universitas Indonesia tersebut.

Namun, dengan segala yang dipunya, Irene tak hentinya memberikan motivasi kepada seluruh stafnya, terutama yang berkerja tanpa kenal lelah di laboratorium Covid-19.

Mantan Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tersebut menjelaskan bahwa ia merasakan beban saat harus melakukan push kepada stafnya untuk bisa memeriksa sampel sebanyak-banyaknya, tapi juga tahu stafnya telah mengorbankan kepentingan mereka untuk hajat umat.

"Kebanyakan yang jadi beban perasaan saat melihat staf saya. Misal Lebaran. Kita tahu hari itu yang ditunggu-tunggu tapi saya harus menyampaikan kita harus buka. Pagi-pagi oleh staf yang non-Muslim, lalu setelah Salat Id masuk semua. Saya bisa merasakan, mereka juga kan susah menjelaskan kepada keluarga besarnya," urai Irene.

Para staf pun dengan kesadaran pribadi, telah berhitung untuk rela berada di dalam laboratorium. Pasalnya mereka mengenakan APD BSL 3 yang hanya satu kali pakai. Bila meninggalkan ruangan, mereka harus melepas semua APD dan mengganti dengan yang baru. Harga satu buah APD yang dikenakan berkisar Rp 750ribu hingga Rp 1 juta.

"Mereka milih telat makan, nggak pipis, menahan diri ada yang sudah ngitung saya masuk pukul 14.00 saya nggak keluar lab sampai Maghrib, mereka menjamak Salat," urai Irene.

Ia pun meminta seluruh staf lab Covid-19 untuk tetap memperhatikan kesehatan. Menjaga daya tahan tubuh mereka, meminta untuk memaksimalkan waktu istirahat yang dipunya, hingga larangan untuk keluyuran saat tidak di lab. Hal itu mengantisipasi penularan Covid-19 kepada para staf.

"Karena satu saja yang positif maka satu lab harus diswab. Mereka kerja di ruangan tertutup kan soalnya. Tapi Alhamdulillah dari 17 Maret sampai hari ini semua negatif swab. Bahkan ketika dirapid juga tidak ada yang reaktif. Kami rutin memeriksa kesehatan mereka," ungkapnya.

Disinggung mengenai bagaiamana rasanya menjadi orang pertama yang mengetahui hasil positif setiap harinya, ibu satu anak ini pun terang-terangan mengatakan bahwa dirinya bisa sampai hafal beberapa nama pasien yang tak kunjung sembuh padahal sudah menjalani swab sebanyak 30 kali.

"Lalu kadang saya juga prihatin ketika melihat hasil tes positif itu adalah nakes. Kemudian seperti yang sudah diberitakan, di kawasan kami yakni Banguntapan, menjadi yang terbanyak kasus positifnya. Itu kami yang tahu duluan," kisahnya.

Irene pun mengaku, sebagai manusia biasa suatu waktu ia pernah merasa sangat lelah hingga ketiduran tengah malam yang harusnya menjadi jadwalnya untuk melihat laporan hasil lab dan segera mengolahnya untuk segera dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan DIY dan Jateng, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta Direktur Rumah Sakit.

"Bu Pembajun (Kepala Dinas Kesehatan DIY) sudah cari-cari saya lewat WA karena dia tugasnya juga susah. Dia harus cek sampel di mana misal di RS A, lalu Bu Berty (Juru Bicara Pemda DIY untuk Penanganan Covid-19) yang cek ke RS A. Digali dulu bener pasien lama atau baru, faktor risiko, pasien juga kadang nggak jujur kalau mereka baru balik dari Jakarta. Baru sorenya Bu Berty mengumumkan kepada media," bebernya.

Meski demikian, ia mengaku bersyukur bisa menjalani perannya saat ini untuk ikut berperang mengalahkan Covid-19. Ia mengatakan, pandemi terakhir ialah pada 1980 yakni penyakit flu, dan saat ini ada Covid-19 yang harus dihadapi bersama.

"Saya, mungkin di hidup saya sampai meninggal itu mungkin ini saja saya menghadapi pandemi. Nggak akan mungkin kita mengalami pandemi dua tahun lagi. ini jadi pengalaman, mencatat sejarah hidup saya. Saya hidup di pandemi, yang saya melakukan seperti ini dan seperti ini," ucapnya lantas tersenyum. (Tribunjogja.com | Kurniatul Hidayah)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved