Laboratorium Berisi Ribuan Sampel Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Yogyakarta
Penulis: Kurniatul Hidayah | Editor: Iwan Al Khasni
"Artinya untuk 10 batch dengan dua mesin yang kami miliki, itu masing-masing mesin 5 batch jadi waktunya pas 15 jam menghasilkan 940 sampel. Sekali masuk 96 sampel tapi kurangi kontrol negatif dan positif jadi 94 sampel," jelasnya.
Sebelumnya, BBTKLPP Yogyakarta hanya memiliki 1 mesin PCR dengan kapasitas menguji 96 sampel. Namun ia melakukan efisiensi anggaran dan melakukan pengadaan mandiri dan membeli satu alat PCR untuk mempercepat kinerja dan demi mendapatkan hasil dalam waktu sesegera mungkin.
"Saya sudah minta ke BNPB, tapi belum dapet-dapet," ucap wanita yang menyelesaikan pendidikan terakhir S3 Epidemiologi Kesehatan Lingkungan di Universitas Indonesia tersebut.
Namun, dengan segala yang dipunya, Irene tak hentinya memberikan motivasi kepada seluruh stafnya, terutama yang berkerja tanpa kenal lelah di laboratorium Covid-19.
Mantan Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tersebut menjelaskan bahwa ia merasakan beban saat harus melakukan push kepada stafnya untuk bisa memeriksa sampel sebanyak-banyaknya, tapi juga tahu stafnya telah mengorbankan kepentingan mereka untuk hajat umat.
"Kebanyakan yang jadi beban perasaan saat melihat staf saya. Misal Lebaran. Kita tahu hari itu yang ditunggu-tunggu tapi saya harus menyampaikan kita harus buka. Pagi-pagi oleh staf yang non-Muslim, lalu setelah Salat Id masuk semua. Saya bisa merasakan, mereka juga kan susah menjelaskan kepada keluarga besarnya," urai Irene.
Para staf pun dengan kesadaran pribadi, telah berhitung untuk rela berada di dalam laboratorium. Pasalnya mereka mengenakan APD BSL 3 yang hanya satu kali pakai. Bila meninggalkan ruangan, mereka harus melepas semua APD dan mengganti dengan yang baru. Harga satu buah APD yang dikenakan berkisar Rp 750ribu hingga Rp 1 juta.
"Mereka milih telat makan, nggak pipis, menahan diri ada yang sudah ngitung saya masuk pukul 14.00 saya nggak keluar lab sampai Maghrib, mereka menjamak Salat," urai Irene.
Ia pun meminta seluruh staf lab Covid-19 untuk tetap memperhatikan kesehatan. Menjaga daya tahan tubuh mereka, meminta untuk memaksimalkan waktu istirahat yang dipunya, hingga larangan untuk keluyuran saat tidak di lab. Hal itu mengantisipasi penularan Covid-19 kepada para staf.
"Karena satu saja yang positif maka satu lab harus diswab. Mereka kerja di ruangan tertutup kan soalnya. Tapi Alhamdulillah dari 17 Maret sampai hari ini semua negatif swab. Bahkan ketika dirapid juga tidak ada yang reaktif. Kami rutin memeriksa kesehatan mereka," ungkapnya.
Disinggung mengenai bagaiamana rasanya menjadi orang pertama yang mengetahui hasil positif setiap harinya, ibu satu anak ini pun terang-terangan mengatakan bahwa dirinya bisa sampai hafal beberapa nama pasien yang tak kunjung sembuh padahal sudah menjalani swab sebanyak 30 kali.
"Lalu kadang saya juga prihatin ketika melihat hasil tes positif itu adalah nakes. Kemudian seperti yang sudah diberitakan, di kawasan kami yakni Banguntapan, menjadi yang terbanyak kasus positifnya. Itu kami yang tahu duluan," kisahnya.
Irene pun mengaku, sebagai manusia biasa suatu waktu ia pernah merasa sangat lelah hingga ketiduran tengah malam yang harusnya menjadi jadwalnya untuk melihat laporan hasil lab dan segera mengolahnya untuk segera dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan DIY dan Jateng, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta Direktur Rumah Sakit.
"Bu Pembajun (Kepala Dinas Kesehatan DIY) sudah cari-cari saya lewat WA karena dia tugasnya juga susah. Dia harus cek sampel di mana misal di RS A, lalu Bu Berty (Juru Bicara Pemda DIY untuk Penanganan Covid-19) yang cek ke RS A. Digali dulu bener pasien lama atau baru, faktor risiko, pasien juga kadang nggak jujur kalau mereka baru balik dari Jakarta. Baru sorenya Bu Berty mengumumkan kepada media," bebernya.
Meski demikian, ia mengaku bersyukur bisa menjalani perannya saat ini untuk ikut berperang mengalahkan Covid-19. Ia mengatakan, pandemi terakhir ialah pada 1980 yakni penyakit flu, dan saat ini ada Covid-19 yang harus dihadapi bersama.
"Saya, mungkin di hidup saya sampai meninggal itu mungkin ini saja saya menghadapi pandemi. Nggak akan mungkin kita mengalami pandemi dua tahun lagi. ini jadi pengalaman, mencatat sejarah hidup saya. Saya hidup di pandemi, yang saya melakukan seperti ini dan seperti ini," ucapnya lantas tersenyum. (Tribunjogja.com | Kurniatul Hidayah)