Kisah Inspiratif

Cerita di Balik Laboratorium Berisi Ribuan Sampel Covid-19 di DIY

Di balik peningkatan kasus positif Covid-19 di DIY setiap hari, ada sosok wanita tangguh yang memastikan semua sampel virus diperiksa dengan benar.

Penulis: Kurniatul Hidayah | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Kurniatul Hidayah
Kepala BBTKLPP Yogyakarta Dr dr Irene MKM 

Pasalnya mereka mengenakan APD BSL 3 yang hanya satu kali pakai.

Seorang ASN di Sleman Positif Covid-19 setelah Menggelar Resepsi di Solo

Bila meninggalkan ruangan, mereka harus melepas semua APD dan mengganti dengan yang baru.

Harga satu buah APD yang dikenakan berkisar Rp 750ribu hingga Rp 1 juta.

"Mereka milih telat makan, nggak pipis, menahan diri ada yang sudah ngitung saya masuk pukul 14.00 saya nggak keluar lab sampai Maghrib, mereka menjamak Salat," urai Irene.

Ia pun meminta seluruh staf lab Covid-19 untuk tetap memperhatikan kesehatan.

Menjaga daya tahan tubuh mereka, meminta untuk memaksimalkan waktu istirahat yang dipunya, hingga larangan untuk keluyuran saat tidak di lab. Hal itu mengantisipasi penularan Covid-19 kepada para staf.

"Karena satu saja yang positif maka satu lab harus diswab. Mereka kerja di ruangan tertutup kan soalnya. Tapi Alhamdulillah dari 17 Maret sampai hari ini semua negatif swab. Bahkan ketika dirapid juga tidak ada yang reaktif. Kami rutin memeriksa kesehatan mereka," ungkapnya.

Disinggung mengenai bagaiamana rasanya menjadi orang pertama yang mengetahui hasil positif setiap harinya, ibu satu anak ini pun terang-terangan mengatakan bahwa dirinya bisa sampai hafal beberapa nama pasien yang tak kunjung sembuh padahal sudah menjalani swab sebanyak 30 kali.

"Lalu kadang saya juga prihatin ketika melihat hasil tes positif itu adalah nakes. Kemudian seperti yang sudah diberitakan, di kawasan kami yakni Banguntapan, menjadi yang terbanyak kasus positifnya. Itu kami yang tahu duluan," kisahnya.

Produk Kuliner Detigaku Banjir Orderan di Tengah Pandemi Covid-19

Irene pun mengaku, sebagai manusia biasa suatu waktu ia pernah merasa sangat lelah hingga ketiduran tengah malam yang harusnya menjadi jadwalnya untuk melihat laporan hasil lab dan segera mengolahnya untuk segera dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan DIY dan Jateng, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta Direktur Rumah Sakit.

"Bu Pembajun (Kepala Dinas Kesehatan DIY) sudah cari-cari saya lewat WA karena dia tugasnya juga susah. Dia harus cek sampel di mana misal di RS A, lalu Bu Berty (Juru Bicara Pemda DIY untuk Penanganan Covid-19) yang cek ke RS A. Digali dulu bener pasien lama atau baru, faktor risiko, pasien juga kadang nggak jujur kalau mereka baru balik dari Jakarta. Baru sorenya Bu Berty mengumumkan kepada media," bebernya.

Meski demikian, ia mengaku bersyukur bisa menjalani perannya saat ini untuk ikut berperang mengalahkan Covid-19.

Ia mengatakan, pandemi terakhir ialah pada 1980 yakni penyakit flu, dan saat ini ada Covid-19 yang harus dihadapi bersama.

"Saya, mungkin di hidup saya sampai meninggal itu mungkin ini saja saya menghadapi pandemi. Nggak akan mungkin kita mengalami pandemi dua tahun lagi. ini jadi pengalaman, mencatat sejarah hidup saya. Saya hidup di pandemi, yang saya melakukan seperti ini dan seperti ini," ucapnya lantas tersenyum. (TRIBUNJOGJA.COM)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved