Digempur Proyek Strategis Nasional, DPKP DIY Khawatir Program Lumbung Mataram Terganggu
Dari 104.000 hektar, DPKP merinci 72.000 hektar diperuntukkan lahan pertanian, sementara 32.000 hektar sisanya untuk lahan cadangan.
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Miftahul Huda
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Digempur pembangunan infrastruktur proyek strategis nasional, program Lumbung Mataram Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mulai terkendala.
Saat ini DPKP DIY mentargetkan 104.000 lahan pertanian produktif dapat dipulihkan melalui Peraturan Daerah (Perda) nomor 5 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Dari 104.000 hektar, DPKP merinci 72.000 hektar diperuntukkan lahan pertanian, sementara 32.000 hektar sisanya untuk lahan cadangan.
Hal itu disampaikan kepala DPKP DIY Arofa Noor Indriani.
Ia merinci kecukupan lahan pertanian produktif di Kabupaten Sleman saat ini mencapai 17.010 hektar.
Wilayah Gunungkidul mencapai 29.000 hektar, Kulonprogo mencapai 11.102 hektar, dan Kabupaten Bantul mencapai 14.000 hektar.
Arofa mengakui, dari lima Kabupaten/Kota yang dilalui pembangunan proyek nasioanal saat ini, ada kabupaten yang justru merelakan lahan pertaniannya untuk dibangun infrastruktur.
"Kalau luasan yang digunakan berapa hektar, itu pemerintah Kabupaten yang tahu. Namun, ada juga yang sudah tertib dan mempertahankan luasan lahan produktif yang ada," katanya, Senin (20/7/2020).
Jika dikaitkan dengan ketahanan pangan ke depan, Arofa mengklaim untuk wilayah DIY masih cukup aman.
Ia merinci dalam satu tahun produksi padi di DIY mampu mencapai 600.000 ton beras.
Sementara kebutuhan perbulannya mencapai 37.000 ton beras. Jika dikalikan selama 12 bulan, maka Pemda DIY sudah surplus beras sebanyak 440.000 ton beras.
Angka tersebut dapat dipertahankan hinggga sepuluh tahun ke depan dengan catatan alih fungsi lahan dapat diperkecil.
"Sampai sejauh ini adanya pembangunan infrastruktur JJLS, Tol, dan Bandara belum begitu terpengaruh dengan program Lumbung Mataram," ujarnya.
Meski begitu, Arofa mengkhawatirkan ketika pembangunan tol tersebut mulai dikerjakan.
Ia menyadari akan ada kerusakan ekosistem dari lahan yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur.
Terlepas dari itu, program Lumbung Mataram diharapkan mampu menjadi kebiasaan baru dalam pertanian di DIY.
Ia menegaskan, kesulitan dalam pengembangan program tersebut bukan datang dari pembangunan infrastruktur.
Melainkan, program tersebut terkendala lantaran minat para petani yang kurang merespon dengan konsisten.
"Kami sudah membentuk kelompok. Ada yang fokus pembenihan, produksi, dan penjualan. Namun mereka kurang konsisten. Kadang tahun pertama jalan, tahun kedua tidak jalan," imbuhnya.
Pihaknya kini semakin khawatir dengan adanya gangguan pada saluran irigasi selokan Mataram.
Diperkirakan 31 hektar lahan pertanian di Desa Tamannartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman terganggu suplai airnya.
"Meski sekarang ini mulai diperbaiki, namun suplai air pasti akan terganggu untuk wilayah sana," tuturnya.
Program Lumbung Mataram itu sendiri sudah mulai dijalankan. Namun, Pemda DIY masih memiliki pekerjaan rumah berupa membiasakan masyarakat untuk bergotong royong dalam program tersebut.
Secara mekanisme, DPKP DIY sudah membentuk klaster yang berjumlah 25 petani untuk satu kelompoknya.
Mereka diberdayakan untuk pembibitan, produksi, dan penjualan. Kendalanya untuk saat ini, para petani enggan menyiapkan pembibitan untuk produksi tahun berikutnya.
"Akhirnya tidak konsisten. Kami sengaja hanya membetuk lingkup keci dulu. Mereka juga bukan dari gapoktan," pungkasnya. (*)