Gudeg Bu Slamet, Warung Gudeg Pertama di Wijilan Yogya yang Kini Coba Bertahan di Tengah Pandemi
Hari-hari ini, pendapatan dari penjualan Gudeg diakuinya tidak seberapa, sehingga tidak bisa diandalkan untuk berbelanja keperluan dapur.
Penulis: Kurniatul Hidayah | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Gudeg Bu Slamet, gudeg pertama yang ada di Jalan Wijilan Kota Yogyakarta tersebut tetap buka di tengah pandemi Covid-19.
Meski kini sepi pembeli, aneka lauk pendamping makan gudeg tetap terpajang rapi di etalase depan.
Subariyah (63) yang merupakan anak keempat dari pasangan Samtinah dan Sumowoharjo atau biasa dipanggil Slamet, menjelaskan, saat awal awal Covid-19 merebak di Indonesia bahkan masuk Yogya, Gudeg Bu Slamet tetap buka.
Pada momen Lebaran pun, tempat makannya tetap menjajakan dagangan.
Ia pun membeberkan, hal tersebut lantaran sang ibu, Bu Slamet yang berusia 96 tahun, tetap ingin memasak gudeg setiap harinya.
Meski sudah tidak memegang kendali penuh atas semua peralatan dapur dan bahan untuk gudeg, namun Bu Slamet tetap menjaga cita rasa gudeg yang diteruskan oleh anak-anaknya itu.
"Jadi ibu bagian ngicip, oh ini kurang asin, kurang manis," kisahnya kepada Tribun Jogja.
Demi melaksanakan perintah ibunya, Subariyah pun rela merogoh koceknya untuk membiayai keperluan bahan baku gudeg yang harus dimasak setiap harinya.
Hari-hari ini, pendapatan dari penjualan Gudeg diakuinya tidak seberapa, sehingga tidak bisa diandalkan untuk berbelanja keperluan dapur.
Subariyah mengaku, pendapatan yang diraup sebelum pandemi, dalam sehari berkisar jutaan rupiah.
Namun kini menyusut drastis yakni puluhan hingga ratusan ribu saja.
Meski demikian ia mengaku ikhlas dan menerima rezeki yang tetap selalu ada setiap harinya.
"Kan nggak perlu ditampakkan kalau sedih, yang penting dijalani. Dulu sudah pernah laku banget, sekarang harapannya cepet pulih jadi bisa nutup yang nombok-nombok," bebernya lantas tersenyum.
Meski kursi-kursi pengunjung tak terisi pelanggan yang makan di tempat, namun ia bersyukur perekonomian berangsur pulih walau belum bisa meningkat drastis.
"Dulu (awal-awal pandemi), tidak ada yang berani makan di tempat. Semua dibungkus. Tapi sekarang, sudah mulai ada wisatawan yang datang beli gudeg di sini, dari Surabaya," urainya.
Sejak Tahun 1964
Subariyah pun membagi kisah Gudeg Bu Slamet pertama kali berjualan di Jalan Wijilan pada tahun 1964.
Saat itu, mereka masih berjualan di emperan.
Belanda masih sering kali datang meski Indonesia telah merdeka.
Saat berjualan, sang ibu mendengar banyak sekali suara tembakan dan banyak mayat yang bergeletakan di sepanjang Jalan Widjilan.
Sang ibu pun lari tunggang-langgang meninggalkan dagangannya dan menyelamatkan diri ke Bantul.
Seusai situasi kembali kondusif, Bu Slamet kembali berjualan di Wijilan.
Meski tanpa suara tembakan dan mayat, tetap ada perasaan was-was di dalam dirinya.
Pasalnya sang suami Sumowoharjo merupakan seorang veteran yang menjadi salah satu orang paling dicari Belanda.
"Almarhum bapak selain veteran juga abdi dalem Keraton," ungkapnya.
Lalu pada sekira tahun 1970, keluarganya membeli bangunan yang kini digunakan untuk berjualan Gudeg Bu Slamet.
Subariyah mengklaim bahwa keluarganya menjadi penjual gudeg pertama di Jalan Wijilan lantas disusul dengan gudeg lain seperti Gudeg Yu Djum.
Meski kini sudah terdapat banyak usaha gudeg sepanjang Jalan Wijilan, namun Subariyah maupun sang ibu tidak pernah khawatir dengan persaingan bisnis yang akan membuat dagangannya sepi.
Hal ini lantaran Gudeg Bu Slamet terus mempertahankan resep asli dan memiliki ciri khas yang berbeda dengan gudeg lain.
Salah satunya dipengaruhi dengan teknik masak yang tidak dicontoh oleh pemilik usaha lain.
"Banyak pelanggan yang dulunya makan di sini pas kuliah, kembali lagi bawa anak cucunya. Mereka bilang rasanya nggak berubah," bebernya.
( Tribun Jogja/ Kurniatul Hidayah )