Kisah Inspiratif
Kisah Mantan Tukang Rosok di Yogyakarta yang Kini Bangkit Ekonominya Berkat Teknologi
Katinem membagikan ceritanya tentang perjalanannya menjadi 'petugas kebersihan' sebelum berseragam dan kini telah memiliki seragam Rapel.
Penulis: Kurniatul Hidayah | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Di era digital seperti saat ini, semua kemudahan bisa didapatkan.
Tak terkecuali yang berkaitan dengan sampah.
Cukup melalui aplikasi jual beli sampah yang bisa diinstall di smartphone, masyarakat DIY dapat memanggil kolektor untuk menjemput sampah yang sudah terpilah.
Tidak perlu membayar petugas kebersihan, dari sampah yang telah dipilah justru akan mendatangkan rupiah.
Satu di antara aplikasi yang sudah memiliki banyak kolektor sampah di DIY adalah Rapel.
Kolektor tersebut yang bertugas untuk melakukan penjemputan sampah ke rumah para pengguna atau biasa disebut user.
• Pantang Minta-minta, Pasangan Difabel di Yogyakarta Ini Pilih Berjualan Roti untuk Bertahan Hidup
Katinem dan Sri Lestari, merupakan dua dari puluhan kolektor sampah dari aplikasi Rapel yang ada di DIY.
Katinem, wanita berusia 41 tahun membagikan ceritanya tentang perjalanannya menjadi 'petugas kebersihan' sebelum berseragam dan kini telah memiliki seragam Rapel.
Ia merupakan pendatang.
Katinem beserta Suami dan satu anak mereka merantau ke Yogya pada 2018 silam.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk membayar sewa kamar serta biaya sekolah anaknya, ia memutuskan untuk membantu sang suami mencari nafkah.
Sempat bingung untuk memulai kerja, ia pun diajak seorang temannya menjadi tukang rosok.
Dia yang belum paham, perlahan belajar mengumpulkan barang dan memilahnya sehingga bisa kembali dijual untuk mendapatkan upah.
"Setiap hari keliling kampung-kampung cari rosok. Kadang tanya ke orang yang punya botol-botol bekas, kalau nggak dipakai kami ambil," ungkapnya kepada Tribunjogja.com, Kamis (9/7/2020).
• BREAKINGNEWS : Tambahan 3 Kasus Baru Covid-19 di DIY, 2 di antaranya Bapak dan Anak
Pendapatan yang tak menentu menjadikan kehidupan Katinem pada saat itu jauh dari kata sejahtera.
Pernah suatu kali, setelah berkeliling setengah hari mencari rosok, tak satupun yang dapat dipungut.
"Kami duduk di pinggir kali. Lihat ada banyak botol di kali. Kami ambil pakai kait. Kami susuri kali. Rasanya, sedih susahnya cari uang. Rasanya, Yaa Allah," kenangnya lantas tersenyum.
Ia pun tak pernah lupa, betapa stigma buruk pemulung sering menyayat hatinya.
Mulai dari ucapan maupun perilaku yang kurang mengenakan, pernah ia rasakan.
Baginya semua itu merupakan pelajaran hidup untuk bisa lebih menghargai sesama dan bersyukur atas semua rezeki yang telah digariskan-Nya.
Hidupnya perlahan membaik, ketika 7 bulan silam memutuskan bergabung dengan Rapel.
Meski enggan menyebutkan rata-rata pendapatan dari menjadi kolektor, namun ibu tiga anak ini mengaku cukup untuk membantu perekonomian keluarga, memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anak, sewa kamar, dan sebagainya.
• Mesin Pengolah Sampah Neptune v1.1 Jadi Andalan Klaten di Lomba Krenova Tingkat Provinsi
"Jauh lebih sejahtera ikut Rapel. Pertama, kami nggak capek-capek keliling, kita tunggu jemput. Dulu keliling belum tentu dapet. Lalu dulu masuk perumahan, ada yang nggak boleh masuk. Sekarang bisa masuk perumahan elit karena ada seragam juga, banyak pelanggannya," ungkap Katinem.
Dalam sehari ia bisa melayani 4-6 kali penjemputan sampah.
Area terjauh yang pernah dijangkaunya adalah di Jalan Kaliurang Km 15, sementara tempat tinggalnya yang juga gudang pengumpulan sampahnya berada di Giwangan Kota Yogyakarta.
"Kami bawa keranjang di sepeda motor. Kami kumpulkan di rumah sampahnya karena belum ada armada besar. Kalau di gudang sudah banyak, kami telepon, lalu diambil dengan mobil di kantor Rapel," urainya.
Ia menjelaskan, bahwa pada dasarnya semua sampah kering bisa mereka jemput.
Mulai dari berbagai jenis plastik, botol, beling, elektronik, dan sebagainya.
"Paling banyak kertas sama plastik. Kebanyakan pelanggan kami dari rumah tangga, kalau perusahaan nggak banyak. Sekolah ada juga. Tapi yang banyak rumah tangga," tuturnya.
• Cerita ABK Sampai di Yogyakarta dengan Berbagai Cara, Tujuannya Pulang ke Bandung
Terlepas dari kegiatannya, Katinem mengatakan sedih ketika ada orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi menghina pekerjaan pemulung.
Menurutnya, selama bekerja di jalan yang tidak menyalahi norma dan tuntunan agama, tidak perlu dipersoalkan.
"Ada perasaan ketika lihat pemulung, lalu ingat kita dulu sudah gitu. Ada pemulung dihina, kita yang ngerasa sedih karena kita pernah seperti itu. Janganlah begitu," ucapnya dengan terbata dan mata yang berkaca-kaca.
Sementara itu, Sri Lestari yang terlebih dulu menjadi kolektor mengatakan bahwa semua suka duka yang dialami Katinem menjadi suka dukanya juga.
"Saya juga perantau, aslinya Klaten. Di sini dengan suami dan anak bungsu saya. Sekarang bersyukur sudah lebih sejahtera," urainya. (TRIBUNJOGJA.COM)