Jika Warga Tak Ikuti Protokol Kesehatan, Kasus Virus Corona di Amerika Bisa Tembus 100 Ribu Perhari
Jika Warga Tak Ikuti Protokol Kesehatan, Kasus Virus Corona di Amerika Bisa Tembus 100 Ribu Perhari
TRIBUNJOGJA.COM, WASHINGTON DC - Amerika Serikat masih menjadi negara dengan kasus virus corona terbanyak di dunia.
Dikutip Tribunjogja.com dari Worldometer, hingga Rabu (1/7/2020), total kasus virus corona di Amerika Serikat mencapai 2.729.378.
Dari total pasien yang terinfeksi virus corona, sebanyak 130.130 di antaranya meninggal dunia.
Hingga kini, kasus penularan virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan China tersebut masih masif.
Bahkan pakar penyakit menular Dr Anthony Fauci menyatakan, kasus positif Covid-19 bisa meningkat dua kali lipat jika warga tak ikuti protokol kesehatan.
"Saya sangat khawatir karena ini [lonjakan kasus positif Covid-19] barangkali akan semakin memburuk," ujarnya kepada Senat AS.
Saat ini, 40.000 kasus positif Covid-19 telah dilaporkan di seluruh pelosok Negeri "Uncle Sam" setiap hari sebagaimana dilansir dari Sky News.
Fauci menambahkan, kondisi tersebut bisa saja lebih buruk dengan jumlah kasus positif Covid-19 melonjak hingga 100.000 per hari jika warga tidak memakai masker dan tidak menjaga jarak.
Anthony Fauci kembali memperingatkan bahwa tidak ada yang bisa menjamin vaksin yang "aman dan efektif" untuk Covid-19.
Dia juga mendesak orang-orang Amerika untuk tidak lengah dalam mematuhi protokol kesehatan menjelang perayaan Hari Kemerdekaan AS pekan ini.
Setelah Presiden AS Donald Trump berulang kali menentang sarannya dalam menangani virus ini, Fauci telah dijauhkan dari pantauan publik.
Sebelumnya, kandidat presiden dari Partai Demokrat Joe Biden menyerang kepemimpinan Trump dalam menangani pandemi ini sebagai "sejarah salah urus".
Saat berpidato di kampung halamannya di Delaware, Biden menuduh Trump "mengabaikan krisis" setelah peningkatan kasus dan tindakan karantina atau lockdown kembali di California, Texas, dan Florida.
Jumlah kasus infeksi tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat di 10 negara bagian dengan episentrumnya terdeteksi di Los Angeles, kota terbesar kedua di AS.
Perekonomian AS berkontraksi cukup tajam pada kuarter pertama 2020 dan diperkirakan akan lebih jeblok pada periode April-Juni.
• Indonesia Kembali Berduka, Dua Tenaga Medis di Surabaya Meninggal Karena Virus Corona
• BREAKING NEWS : Update Covid-19 DIY 1 Juli 2020, Positif Bertambah 1 Kasus
Borong Remdesivir
Amerika Serikat memborong hampir seluruh persediaan obat Remdesivir, tanpa menyisakan negara lainnya.
Dikutip dari The Guardian, AS membelinya untuk persediaan tiga bulan ke depan tanpa menyisakan untuk Inggris, Eropa, bahkan sebagian besar negara lainnya.
Para ahli khawatir dengan tindakan AS ini dan membayangkan implikasi lebih luas, misalnya saat vaksin tersedia.
Sebab pemerintahan Donald Trump sudah menunjukkan sikap untuk mengalahkan semua negara dan mengamankan pasokan medis untuk AS sendiri.
"Mereka mendapatkan akses ke sebagian besar pasokan obat (dari remdesivir), jadi tidak ada apa pun untuk Eropa," kata Dr. Andrew Hill, seorang peneliti senior.
Remdesivir merupakan obat pertama yang disetujui otoritas AS untuk mengobati penderita Covid-19.
Obat potensial ini diproduksi oleh Gilead dan telah terbukti membantu memulihkan penderita corona lebih cepat.
Adapun 140.000 dosis pertama dikirim untuk uji coba ke seluruh dunia.
Kini pemerintahan Trump telah membeli lebih dari 500.000 dosis.
Dosis sebanyak itu adalah total produksi Gilead untuk Juli dan 90 persen pada Agustus dan September.
"Presiden Trump telah mencapai kesepakatan luar biasa untuk memastikan Amerika memiliki akses ke terapi terotorisasi pertama untuk Covid-19," kata sekretaris layanan kesehatan dan kemanusiaan AS, Alex Azar.
"Sedapat mungkin, kami ingin memastikan bahwa setiap pasien Amerika yang membutuhkan remdesivir bisa mendapatkannya."
"Administrasi Trump melakukan segala daya kami untuk mempelajari lebih lanjut tentang terapi penyelamatan jiwa untuk Covid-19 dan mengamankan akses ke opsi ini untuk rakyat Amerika," tambahnya.
Remdesivir sebenarnya diperuntukkan mengobati Ebola, sayangnya tidak berhasil.
Obat ini telah dipatenkan Gilead, artinya tidak ada perusahaan obat lain yang boleh membuatnya.
Menurut pernyataan pemerintah AS, harga obat ini sekitar USD 3.200 atau sekitar Rp 46 juta per perawatan dengan enam dosis.
Kesepakatan pembelian remdesivir besar-besaran ini diumumkan karena pandemi corona semakin mewabah di AS.
Ahli penyakit menular top AS, Anthony Fauci mengatakan bahwa AS tidak mengalami kemajuan di tengah wabah ini.
"Kita menuju ke arah yang salah," kata Fauci.
Pekan lalu AS mencatat penambahan infeksi harian sejumlah 40.000.
"Saya tidak akan terkejut jika kita mencapai 100.000 sehari jika ini tidak berbalik," katanya.
"Ini akan sangat mengganggu, saya jamin itu," tambah Fauci, tanpa menjelaskan perkiraannya pada korban jiwa pandemi ini.
AS telah mencatat lebih dari 2,5 juta kasus infeksi Covid-19, terbanyak di dunia.
Worldometers pada Rabu (1/7/2020) mencatat 2.727.996 kasus infeksi.
Adapun kematiannya sejumlah 130.123 dengan pasien sembuh sebanyak 1.143.490.
Bersama dengan kondisi wabah ini, sejumlah negara bagian memutuskan menutup negara kembali setelah beberapa waktu dibuka.
Pada Senin lalu, Gubernur Arizona memerintahkan bar, bioskop, pusat kebugaran, dan taman ditutup selama sebulan hanya beberapa minggu setelah dibuka kembali.
Texas, Florida, dan California, semuanya mengalami peningkatan kasus dan juga menerapkan pembatasan kembali.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pejabat AS Khawatir Mereka Bakal Alami 100.000 Kasus Covid-19 Per Hari