Wabah Corona
Ahli Epidemiologi UGM : Syarat Masa Transisi Harus Siap Hadapi Lonjakan 20 Persen Kasus Covid-19
Ahli Epidemiologi Universitas Gajah Mada (UGM) dr. Riris Andono Ahmad mengatakan, sudah semestinya Pemda DIY harus merubah mode penangan Covid-19.
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Ari Nugroho
Laporan Reporter Tribun Jogja Miftahul Huda
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Untuk menuju masa transisi, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY wajib memenuhi beberapa syarat.
Hal itu diperlukan lantaran DIY masih belum menemui puncak pandemi Covid-19 yang sudah hampir empat bulan ini.
Ahli Epidemiologi Universitas Gajah Mada (UGM) dr. Riris Andono Ahmad mengatakan, sudah semestinya Pemda DIY harus mengubah mode penanganan Covid-19.
Seperti yang disampaikan berkali-kali, pria yang akrab disapa dr. Doni ini menyampaikan jika masyarakat akan hidup tiga hingga empat tahun ke depan bersama Covid-19.
Sehingga sangat tidak mungkin jika selama itu status kebencanaan terus diterapkan.
• Masih Nirkasus COVID-19 Baru, Pasien Sembuh Asal Gunungkidul Bertambah 1
"Kita bisa hidup bersama Covid-19 tiga hingga empat tahun ke depan. Status kebencanaan terus menerus sangatlah kurang tepat," katanya, Rabu (23/6/2020).
Ia melanjutkan, persiapan pola penanganan dibutuhkan untuk menuju masa transisi nanti.
Karena Covid-19 merupakan penyakit jangka panjang, persiapan sistem penanganan harus disiapkan lebih matang.
Hal itu lantaran, menurutnya masa transisi memiliki risiko besar terjadinya penambahan kasus Covid-19 yang tinggi.
Misalnya, sejauh ini angka reproduksi Covid-19 di DIY berdasarkan data base startup analis big data Bonza mencatat masih di bawah 0,92 atau masih di bawah 1 pada Mei lalu.
Potensi peningkatan reproduksi itu pun mungkin terjadi. Hal itu lantaran menurut dr. Doni, fakta dari Covid-19 sendiri akan hidup pada imunitas seseorang yang lemah.
• Pandemi Covid-19, 59,31 Persen Difabel DIY Terdampak Ekonomi
"Makanya pola sistem penanganan yang perlu disiapkan. Seberapa cepat respon, penanganan, dan pelayanan ketika terjadi lonjakan kasus," urainya.
Pria yang juga sebagai anggota Tim Perencanaan Data dan Analisa Gugus Tugas DIY ini menambahkan, selama kebutuhan imunitas masyarakat tidak tertangani dengan baik, ada kemungkinan besar kasus Covid-19 akan membesar.
Ia pun mendesak supaya fokus Pemda DIY lebih kepada persiapan penanganan ketika terjadi lonjakan kasus yang besar.
dr. Doni menambahkan, ada beberapa syarat yang harus disiapkan dalam masa transisi.
Pertama, kesiapan dari segi medis, kedua dari segi epidemiologis. Dua hal itu menjadi perlu dan harus diperbaiki respon serta penanganannya.
"Kalau dari BNPB itu kan mensyaratkan kalau siap transisi harus menyiapkan sarana dan prasarana jika menghadapi lonjakan kasus melebihi 20 persen," ungkapnya.
• Laboratorium FK UMY Jadi Rujukan Pengujian Sampel Tes COVID-19
DIY Hanya Ada Terapi Plasma Konvalesen (TPK)
Bicara tentang kesiapan menghadapi lonjakan kasus ketika masa transisi, DIY hanya masih memiliki cara Terapi Plasma Konvalesen (TPK).
Itu pun oleh pihak Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta masih dalam proses uji lab sampai saat ini.
Saat disinggung mengenai kesiapan, dr. Doni mengatakan apa pun sistemnya semua dapat diupayakan.
Termasuk metode TPK berupa transfer plasma mantan pasien Covid-19 yang sembuh kepada pasien yang terindikasi positif Covid-19.
Metode tersebut dapat dikatakan pula sebagai vaksin pasif. Melihat hal kondisi seperti ini, apakah DIY sudah siap?
"Berbicara siap tidak siap, saya belum berani menjawab. Intinya Pemda DIY harus menyiapkan," imbuhnya.
Sementara grafik Covid-19 di DIY untuk saat ini, menurut dr. Doni, data terakhir paling banyak terjadi lonjakan kasus Covid-19 dari impor, atau luar DIY.
Misalnya klaster penjual ikan asal Purworejo yang dinyatakan positif saat bertransaksi dengan pedagang di Kulon Progo.
Secara epidemiologi, transmisi lokal sudah mulai berkurang. Selain itu ia menganggap jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit juga sudah semakin berkurang.
Gedung karantina juga sudah mulai kosong. Meski begitu, dirinya tetap mewaspadai adanya lonjakan kasus yang lebih besar.
"Kasusnya menurun. Banyak pasien yang dirawat sudah kembali. Kasus berat memang tidak bertambah. Tapi itu tidak bisa disimpulkan penyebaran Covid-19 sudah berakhir," urainya.
Karena, jika berbicara terkait kesiapan, ia mencontohkan di Singapura secara sistem penanganan sangatlah bagus.
Namun, tetap saja mereka kebobolan. Dalam artian, kasus Covid-19 tetap akan ditemui.
"Yang menjadi fokus ya terkait ketepatan penanganan, kecepatan dan respon Pemda itu sendiri," pungkasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)