Mengenal Virus Ebola, yang Merebak di Afrika dengan Tingkat Kematian Tinggi
World Health Organization (WHO) telah mengumumkan wabah ebola kembali muncul di Republik Demokratik Kongo yang terletak di benua Afrika, Senin
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM, KONGO - World Health Organization (WHO) telah mengumumkan wabah ebola kembali muncul di Republik Demokratik Kongo yang terletak di benua Afrika, Senin (1/6/2020).
Padahal, Kongo sendiri sedang berjuang melawan virus corona yang menyebabkan 72 orang meninggal dari 3,195 kasus.

Virus ini ditularkan ke manusia dari hewan liar, seperti kelelawar buah, landak, dan primata non-manusia dan kemudian menyebar dalam populasi manusia.
Penyebaran itu melalui kontak langsung dengan darah, sekresi, organ atau cairan tubuh lain dari orang yang terinfeksi, dan dengan permukaan. dan bahan-bahan misalnya tempat tidur, pakaian yang terkontaminasi dengan cairan ini.
• WHO Mendeteksi Munculnya Wabah Baru Virus Ebola di Kongo
Tingkat kematian rata-rata kasus ebola adalah sekitar 50% di Kongo. Angka fatalitas kasus bervariasi dari 25% hingga 90% pada kejadian luar biasa beberapa tahun lalu.
Wabah ebola pertama terjadi di desa-desa terpencil di Afrika Tengah, di dekat hutan hujan tropis.
Wabah yang merebak di tahun 2014-2016 di Afrika Barat adalah yang terbesar dan paling kompleks sejak virus pertama kali ditemukan pada tahun 1976.

Ada lebih banyak kasus dan kematian dalam wabah saat itu. Tercatat sebanyak 11 ribu orang meninggal dan 28 ribu terinfeksi di Afrika Barat dalam rentang waktu tersebut tersebut.
Ini juga menyebar antar negara, mulai di Guinea kemudian bergerak melintasi perbatasan darat ke Sierra Leone dan Liberia.
• Daftar 10 Virus Berbahaya dan Mematikan di Seluruh Dunia Selain Covid-19, Ada Ebola hingga HIV
Diperkirakan bahwa kelelawar buah dari keluarga Pteropodidae adalah inang virus ebola alami.
BELUM ADA VAKSIN MASSAL

Hingga kini, menurut WHO, vaksin ebola masih bersifat eksperimental. Artinya, vaksin digunakan untuk kasus dan situasi tertentu. Maka, tidak semua orang bisa mendapat vaksin tersebut.
Vaksin eksperimental terbukti sangat protektif terhadap virus mematikan dalam percobaan besar di Guinea.
Vaksin, yang disebut rVSV-ZEBOV, dipelajari dalam percobaan yang melibatkan 11.841 orang selama tahun 2015.
Di antara 5.737 orang yang menerima vaksin, tidak ada kasus Ebola yang tercatat 10 hari atau lebih setelah vaksinasi.
Melansir Kompas.com di tahun 2018, saat itu WHO dan otoritas kesehatan setempat mempersiapkan jembatan udara, helikopter, dan sepeda motor untuk memperlancar kampanye vaksinasi.
Mereka juga telah menyiapkan lemari pembeku di lokasi-lokasi wabah dan memindahkan vaksin dalam kontainer yang bisa menjaga suhu di bawah titik beku selama satu minggu.
OUTBREAK KE-11

Data dari WHO, outbreak atau kejadian luar biasa di Kongo ini sudah yang ke-11 kalinya. Virus ebola telah ditemukan sejak 1976 dan terus menjadi epidemi di benua Afrika.
"Ini adalah pengingat bahwa COVID-19 bukan satu-satunya ancaman kesehatan yang dihadapi orang," kata Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO dalam sebuah pernyataan.
“Meskipun banyak perhatian kita tertuju pada pandemi, WHO terus memantau dan menanggapi banyak keadaan darurat kesehatan lainnya,” katanya lagi.
Kota Mbandaka dan daerah sekitarnya adalah tempat wabah Ebola ke-9 dari Republik Demokratik Kongo, yang terjadi sejak Mei hingga Juli 2018.
"Itu terjadi pada saat yang penuh tantangan, tetapi WHO telah bekerja selama dua tahun terakhir dengan otoritas kesehatan, CDC Afrika dan mitra lainnya untuk memperkuat kapasitas nasional untuk menanggapi wabah," kata Dr Matshidiso Moeti, Direktur Regional WHO untuk Afrika.
“Untuk memperkuat kepemimpinan lokal, WHO berencana mengirim tim untuk mendukung peningkatan respons. Mengingat kedekatan wabah baru ini dengan rute transportasi yang sibuk dan negara-negara tetangga yang rentan, kita harus bertindak cepat,” tandasnya.
KONTAK MANUSIA DENGAN KELELAWAR
Outbreak ke-11 ini menimbulkan pertanyaan mengapa ebola terus menerus terjadi di Kongo dan sekitarnya.
Melansir BBC mengenai ucapan Dr Charlie Weller, epidemiologi dari Wellcome Trust, organisasi global untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, mengatakan meskipun kita dapat mengidentifikasi area berisiko tinggi, tidak realistis untuk berharap wabah ini bisa diberantas.
Kelelawar buah dianggap sebagai inang utama penyakit ini, tetapi juga masuk ke dalam populasi manusia melalui kontak erat dengan darah, organ atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksi. Ini dapat termasuk simpanse, gorila, monyet, kijang dan landak.
Penyakit ini endemik di daerah tersebut dan tidak mungkin untuk membasmi semua hewan yang mungkin menjadi inang bagi ebola.
Selama manusia melakukan kontak dengan mereka, selalu ada kemungkinan bahwa ebola bisa kembali.
( Tribunjogja.com | Bunga Kartikasari )