Qassem Soleimani, Tokoh Sentral di Balik Kekalahan ISIS di Irak dan Suriah

Qassem Soleimani, Tokoh Sentral di Balik Kekalahan ISIS di Irak dan Suriah

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Hari Susmayanti
Al Jazeera
Mayor Jenderal Qassem Soleimani 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA –  Almarhum Qassem Soleimani, bekas Kepala Pasukan Al Quds Garda Republik Islam Iran, adalah tokoh sentral di balik kekalahan ISIS di Irak dan Suriah.

Di tangannya, perang melawan kelompok teroris paling kejam itu berakhir sukses. Qassem berhasil memobilisasi kekuatan sipil bersenjata di Irak, bahu membahu bersama militer Irak.

Kota Mosul, pusat deklarasi kekhalifahan Abu Bakr Al Baghdadi yang dikuasai ISIS bertahun-tahun, direbut lewat pertempuran rumah ke rumah.

Hal ini dikemukakan pakar geopolitik Timur Tengah, Dina Y Sulaiman, dalam tadarus virtual via Zoom, Selasa (19/5/2020).

Tadarusan politik internasional ini dihelat Penerbit Imania, yang menerbitkan buku  “Jalan Cinta Sang Penumpas ISIS”. Buku ini ditulis Musa al-Kadzim, Alvian Hamzah, dan Irman Abdurahhman.

Diskusi virtual diikuti lebih kurang 200 peserta dari berbagai daerah di Indonesia, dimoderatori Hertasning Ichlas yang berada di Belanda.

Di Irak, sejak lama Qassem Soleimani bersama pasukan Al Quds menggalang milisi Hasd al-Shaabi, yang kini dikenal sebagai Popular Mobilization Unit (PMU).

Kelompok paramiliter ini telah diintegrasikan secara resmi bagian dari Angkatan Bersenjata Irak. PMU inilah yang punya kontribusi besar menumpas ISIS di Irak.

“Qassem itu menjalankan agenda kawasan, perlawanan melawan ketidakadilan, penjajahan, dan kelompok teroris ISIS di Irak dan Suriah,” kata Dina yang juga pengajar di Universitas Pajajaran Bandung.

Tadarus Virtual Mengupas Jenderal Qassem Soleimani, Jenderal Kenyang Perang yang Sufistik

Dina Y Sulaiman yang dikenal satu di antara sedikit perempuan intelektual yang berani melawan narasi barat terkait konflik Timur Tengah, membeberkan fakta Iran pasca-Qassem.

Sesungguhnya, kata Dina, euforia perlawanan pascapembunuhan Qassem sangat kuat di Timur Tengah.

Tapi rentetan kejadian sesudahnya, ditambah pandemik global virus Corona mengubah konstelasi politiknya.

Serangan Iran ke pangkalan militer AS di Irak, yang tidak berlanjut balasan dari AS, turut mengurangi ketegangan kawasan.

Bagi Dina Sulaiman, buku baru yang diterbitkan tentang sosok Qassem Soleimani, sangat baik menjelaskan konfigurasi konflik politik Timur Tengah yang begitu rumit.

“Buku ini juga mampu menjelaskan pandangan filosofis soal jihad. Jihad yang sesungguhnya adalah melawan kelompok teroris, seperti ISIS,” kata Dina.

Bukan jihad yang dinarasikan ISIS. “Bahkan kerap muncul anggapan, di Suriah, pasukan AS itu bukan memerangi ISIS, tapi jadi pasukan udaranya ISIS,” beber Dina Sulaiman.

“Tiap kali pasukan Suriah memerangi ISIS dan hampir menang, pesawat tempur AS datang dan membombardir pasukan Suriah,” lanjutnya.

Karena itu apa yang dilakukan Qassem Soleimani dan Iran di kawasan Timur Tengah, utamanya Irak dan Suriah, sangat relevan.

“Jika tidak, Baghdad dan Damaskus itu sudah dikuasai ISIS. Bendera hitam berkiba di kedua kota itu,” kata penulis buku “Salju di Aleppo” ini.

Di mata Irman Abdurrahman, penulis buku  “Jalan Cinta Sang Penumpas ISIS”, sosok Qassem Soleimani menimbulkan sensasi sendiri bagi negara barat.

Majalah Newsweek yang ternama, media New Yorker , dan BBC pernah membuat laporan panjang sepak terjang jenderal satu ini.

“Meski di dalamnya ada intensi tertentu, karena menggunakan frasa-drasa yang mencitrakan negatif sosok Qassem,” kata Irman, eks editor Sindo Weekly yang pernah reportase dari Jalur Gaza.

Irman menambahkan, kehadiran Qassem Soleimani di Palestina begitu dalamnya, meski secara diplomatis tidak pernah ditampakkan oleh elite Hamas.

Hamas adalah kelompok Sunni, yang memperoleh dukungan pendanaan dari negara-negara Arab, seperti Emirat dan Qatar.

Baru setelah Qassem dibunuh, Hamas secara demonstratif menunjukkan penghormatannya pada Qassem.

Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, terbang ke Teheran, melayat Qassem, dan menemui keluarga almarhum. “Haniyeh menyebut Qassem sebagai Syahid Al Quds,” ujar Irman.

“Tapi ketika saya di Gaza, saya mendapat penjelasan dari elite Hamas, begitu besar peran dan dukungan Iran pada perlawanan Palestina. Finansial maupun politik,” sambungnya.

“Qassem juga disebut sebagai kreator penggalian terowongan-terowongan rahasia di Jalur Gaza,” imbuhnya.

Tapi menurut Irman, elite Hamas tidak pernah terbuka mengakui itu. Tujuannya tentu menjaga hubungan baik dengan para pendukung Arabnya.

Alvian Hamzah, penulis lain buku tentang Qassem Soleimani menambahkan, propaganda kelompok tertentu selama ini berusaha menarasikan konspirasi Iran dan AS.

Konflik kedua Negara yang kerap muncul lewat retorika keras, oleh kalangan tertentu dianggap hanya permainan untuk tujuan politik terkait Israel dan ISIS.

Tapi pembunuhan Qassem membuyarkan semua narasi itu. “Sekarang semua tahu siapa yang petentang-petenteng, siapa yang arogan,” kata Alvian.

Baginya, membunuh Qassem adalah kesalahan kalkulasi Washington. Mereka keliru menghitung efek lanjutannya dari operasi tersebut.

Iran kemudian mengejutkan dunia, memperlihatkan kapabilitasnya yang secara presisi mampu menggempur pangkalan-pangkalan AS di Irak.

“Sulit lho membayangkan ada yang berani melawan langsung Amerika. Bayangan banyak orang, itu tindakan gila,” ujar penulis dan eks jurnalis ini.

Di bagian lain, Habib Musa al-Kadzimi menjawab pertanyaan peserta, mengapa AS tidak balas lagi serangan rudal Iran ke Irak.

Menurut Musa, ini terkait konstelasi politik kawasan dan basis legal jika pecah perang terbuka menyusul pembunuhan Qassem.

“Qassem datang ke Irak sebagai tamu resmi, akan bertemu secara resmi dengan pejabat Irak, kunjungannya juga resmi mewakili Negara,” jelas Musa.

“Karena itu jika melanjutkan perang, AS tidak punya basis legal internasional. Tindakan mereka memicu perang ini salah dari segi apapun secara hokum internasional,” bebernya.

“Jadi mereka berpikir, tak ada untung juga berlanjut. It’s finished,” kata penulis buku yang juga mahasiswa pascasarjana di UI ini.

Budayawan Sujiwo Tedjo ikut urun rembuk, dan mengaku dia sangat tergetar. “Iran membuat saya tergetar,” kata seniman yang dijuluki Presiden Jancukers ini.

“Sosok Qassem yang sufistik, puitis, ini sangat menarik. Saya membayangkan para pemimpin kita bisa seperti itu,” katanya.

Sudjiwo Tedjo mengritik tajam para pemimpin Indonesia saat ini, yang jauh dari kesederhanaan, amanah, mampu member teladan serta konsisten.

Semangat membuka investasi, di mata Sudjiwo Tedjo, mengalahkan segala-galanya. Para pemimpin kurang literasi.

“Para pemimpin kita tidak melaksanakan hasta brata, tidak membaca. Karena itu tidak konsisten dan membingungkan,” ujar eks wartawan Kompas yang pintar mendalang ini.(Tribunjogja.com/xna)

  

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved