Nasional

Melihat Sejarah Panjang Mudik Masyarakat Nusantara

Aktivitas mudik sudah mengakar dan menjadi tradisi yang tidak terlewatkan setiap tahun.

Penulis: Yosef Leon Pinsker | Editor: Gaya Lufityanti
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG
Ilustrasi: Kendaraan pemudik dari arah Jakarta melewati jalan tol jakarta-cikampek di Cikampek, Jawa Barat, Minggu (2/6/2019). Sistem satu arah atau one way mulai diterapkan di jalan tol Jakarta-Cikampek hingga tol Batang-Semarang di Jawa Tengah pada H-6 Lebaran 2019, Kamis (30/5). 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Mudik punya catatan sejarah yang panjang pada masyarakat nusantara.

Aktivitas mudik sudah mengakar dan menjadi tradisi yang tidak terlewatkan setiap tahun.

Apalagi bagi para perantau yang meninggalkan kampung halaman tercinta untuk mengais rezeki di berbagai kota, mudik menjadi aktivitas yang lazim di setiap perayaan hari besar keagamaan.

Pada tahun ini tampaknya kebiasaan mudik mesti tertunda akibat pandemi Covid-19.

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang larangan mudik untuk memutus mata rantai penularan yang lebih besar.

BREAKING NEWS : Update Covid-19 DIY 9 Mei 2020, Bertambah 3 Kasus Positif Baru

Kebijakan ini tentu menimbulkan gesekan di masyarakat, terlebih lagi pandemi Covid-19 belum juga berakhir meski telah memasuki bulan Ramadan.

Pengajar Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Yogyakarta, Muhammad Yuanda Zara menjelaskan, mudik adalah migrasi temporer tahunan terbesar di Indonesia.

Tidak ada aktivitas sosial yang lebih besar selain mudik.

Tahun lalu saja, diperkirakan 20 juta masyarakat Indonesia mudik saat Lebaran.

Angka itu lebih besar daripada jumlah penduduk Belanda dan empat kali lipat penduduk Singapura.

Hanya suatu keyakinan yang kuat dan tradisi yang berakar lama yang bisa membuat orang mau bergerak dengan jumlah sebanyak itu.

"Itulah mudik Lebaran, tradisi pulang kampung menjelang Idul Fitri dan sudah dilakukan masyarakat Indonesia selama berdekade-dekade," kata Yuanda dalam diskusi daring bertajuk Kilas Balik Tradisi Mudik Indonesia, Akar Historis dan Perkembangannya, Jumat (8/5/2020).

Pelonggaran Transportasi Jadi Godaan Mudik

Masyarakat menggunakan berbagai macam moda transportasi saat mudik.

Dalam perkembangannya, transportasi yang marak digunakan adalah kereta api, kemudian bergeser ke bus, kendaraan pribadi sampai melalui angkutan udara yakni pesawat terbang.

Saat mudik menjadi fenomena yang cukup besar pada 1970-an silam, bus penuh, kereta api sesak, dan angka kecelakaan lalu lintas cukup signifikan, namun hal itu tidak menyurutkan niat masyarakat untuk tidak mudik.

"Mudik adalah soal kerinduan, keinginan untuk kembali ke akar, setelah setahun berada di tanah rantau. Mudik adalah jalan untuk membawa manusia Indonesia kembali ke kebahagiaan di masa kecilnya yang indah, sebagai penghapus derita dari kisah-kisah pahit di kota selama setahun," ungkap dia.

Bicara tentang akar mudik pertama kali, memang cukup muskil untuk dijawab.

Tidak ada yang tahu kapan waktu persisnya tradisi itu mulai tercipta.

Namun, Yuanda menyatakan bahwa hal itu bisa dilacak dari sumber-sumber silam.

Mudik muncul ketika kota-kota kolonial lahir, ketika orang desa mulai bersekolah atau bekerja di kota.

Sejak masa kolonial orang sudah pulang kampung pada masa menjelang Lebaran, namun masih dengan skala yang kecil karena umumnya masyarakat hanya merantau ke daerah yang dekat dari desa mereka.

Istilah mudik sendiri belum muncul setidaknya sampai tahun 1970-an.

Kisah Warga Gunungkidul yang Relakan Rumahnya Dijadikan Tempat Isolasi Bagi Pemudik, Kulo Ikhlas

Baru di era 1980-an media massa mulai menyebut fenomena ini sebagai mudik.

Sebelumnya, masyarakat hanya mengenal istilah pulang kampung saja dan tiap-tiap daerah punya nama sendiri untuk tradisi ini.

"Di Sumatera misalnya, istilah mudik hampir tak dikenal. Yang ada hanya pulang kampung atau pulang basamo."

Menilik kembali ke belakang, tradisi mudik tidak hanya sekali ini saja tertunda.

Pada masa awal pascakemerdekaan Indonesia, saat umat muslim Indonesia merayakan Idulfitri yang jatuh pada Rabu, 28 Agustus 1946 mereka mesti menunda mudik akibat suasana politik Indonesia yang belum kondusif.

Belanda dan Inggris menguasai kota-kota penting di Jawa.

Di beberapa tempat, perayaan hari ulang tahun pertama kemerdekaan Indonesia yang berlangsung sebelas hari sebelum lebaran tahun 1946 pun dilakukan sangat sederhana.

Kontak senjata antara para pejuang Republik dengan pasukan Belanda masih berlangsung di beberapa tempat.

Seperti di Cibeber (Bogor), di Padang antara pejuang Republik dengan pasukan Inggris dan NICA pada dini hari atau beberapa jam sebelum shalat Id.

Selain itu, keterbatasan moda transportasi dan juga fasilitas infrastruktur juga belum sebagus sekarang.

Pemeriksaan Berlapis Dirasa Efektif Mencegah Pemudik Masuk Yogyakarta

Kendaraan roda empat masih menjadi barang mewah kala itu, sementara angkutan udara pun masih sangat minim.

Meskipun masih dalam suasana revolusi fisik, perayaan Idulftri tetap dirayakan umat muslim dengan cukup khidmat pada masa itu.

Pusat pemerintahan yang telah dipindahkan ke Yogyakarta membuat perayaan dipusatkan di sejumlah masjid dan ruang publik di sudut-sudut kota.

Salat Idulfitri diselenggarakan di Alun-Alun Utara Yogyakarta.

Menariknya lagi, selepas salat Id para pilot Republik menerbangkan sejumlah pesawat di langit Yogyakarta guna menyebarkan berbagai selebaran berisi ucapan Selamat Idulfitri pada masyarakat Yogyakarta.

"Beberapa tahun setelah perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia usai dan kehidupan masyarakat bisa berjalan dengan normal, barulah tradisi mudik secara fisik mulai bisa dilakukan dalam skala besar oleh masyarakat Indonesia," ucap Yuanda. (TRIBUNJOGJA.COM)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved