Penularan Virus Corona di Yogyakarta, Mulai Zona Merah Kini Ada Temuan Kasus G3
Tim Gugus Tugas percepatan penanganan Covid-19 DI Yogyakarta telah melakukan penelitian kepada 713 kasus yang telah terkonfimasi
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Iwan Al Khasni
Lalu yang perlu dilakukan untuk saat ini apa?
Andono menyarankan kepada Pemda DIY supaya meniru Pemerintah Korea Selatan yakni screening lebih meluas, serta isolasi seluruh PDP maupun ODP.
Ia menganggap, untuk saat ini tidak usah bicara PSBB. Pemda DIY siapkan jaring pengaman sosial, dan masyarakat lakukan isolasi dengan suka cita tanpa ada pemaksaan yang berdasar dari peraturan.
"Hukumnya PSBB dengan penanganan wabah sebenarnya sama. Misalnya, orang kena TBC, tapi tak mau minum obat. Pemerintah tidak masalah, namun pemerintah wajib menegur untuk mengisolasikan yang berpenyakit. Tanpa PSBB itu sudah menjadi tindakan yang harus dilakukan," tegas dia.
*Patuhi Protokol Kesehatan Atau Jalani Pembatasan Sosial Hingga 2022*
Selain menjalani hidup sehat, pemutusan mata rantai Covid-19 memang mengurangi interaksi.
Andono menganggap, jalan tersebut menjadi hal paling perlu dilakukan supaya mata rantai penyebaran virus bisa dihentikan.
Meski penilitiannya mengatakan jumlah kaus G2 lebih sedikit dari G1 namun, hal tak terduga patut diwaspadai.
"Ada ilmuwan dari Harvard University mengatakn, bahwa untuk benar-benar bisa terbebas kita perlu jalani pembatasan sosial hingga 2022," tegasnya.
Alasannya, ia menjelaskan, seperti halnya seseorang di tempat baru, salah satu harus menyesuaikan dengan kondisi yang baru saja di tempati.
Ia menganggap, hal itu sebagai bentuk membiasakan diri hidup di tengah wabah virus.
"Kecuali kalau kita sudah menemukan vaksin. Sementara untuk membuat vaksin juga tak cukup satu tahun," sambung Andono.
Ia mengangap, di dalam pembatasan sosial, ada reduksi transmisi penularan dari waktu ke waktu selalu ada kasus baru.
Jika siklus itu berjalan dengan baik, seseorang akan mencapai hard imunnity. Jadi, menurutnya sangat mungkin jika akan ada pembatasan sosial yang cukup lama.
"Karena ini bencana yang one time. Bukan seperti DBD yang bisa dibasmi secara sekejap. Adanya vaksin pun harus dipikirkan skala produksinya bagaimana. Untuk itu, kita semua butuh menyesuaikan dengan virus ini entah berapa tahun untuk benar-benar hilang," sambungnya.