Kisah Inspiratif
Jamu Bu Nur di Kota Magelang Layani Pelanggan Sejak Tahun 1982
Depot Jamu Bu Nur yang ada di Pasar Rejowinangun Kota Magelang memang sudah seperti rumah sakit. Segala macam penyakit, ada obatnya.
Penulis: Rendika Ferri K | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Rendika Ferri K
TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - "Mbah Sutini, saya pesan jamunya. Perut saya sakit," kata seorang pelanggan sembari mengelus-elus perutnya.
Begitu mendengar pesanan, Sutini langsung mengambil bahan-bahan dari wadah.
Tangannya cekatan, menumbuk, memarut, memeras rempah-rempah yang sudah dihaluskan.
Bahan-bahan itu diracik dan dituangkannya ke dalam gelas yang terbuat dari batok kelapa.
Tak butuh waktu lama, ia pun mengulungkan ramuan jamu itu kepada pria yang sedang sakit Lambung itu.
"Monggo, ini Jamu untuk Asam Lambung-nya, mas" kata Sutini ramah.
• Kembangkan Potensi Medical Tourism di DIY Melalui Pemanfaatan Jamu
Sang pelanggan pun meminum jamu yang pahit itu satu kali tegukan.
"Bismillah, semoga sembuh" ujarnya sembari berdoa.
Setelah sang pria, ada lagi seorang perempuan yang meminta jamu agar susunya lancar.
Setelahnya, ada yang masih muda memesan jamu untuk menyembuhkan capai.
Begitu seterusnya.
Depot Jamu Bu Nur yang ada di Pasar Rejowinangun Kota Magelang memang sudah seperti rumah sakit.
Segala macam penyakit, ada obatnya.
Obatnya ya tak lain adalah jamu racikan, Sutini. Sejak tahun 1982, atau bahkan sejak puluhan tahun sebelumnya, kios ini berdiri dan melayani ratusan bahkan ribuan pelanggan.
Sutini (70), warga Girirejo, Tempuran, Magelang itu meneruskan usaha jamu dari Bu Nur, sang pemilik pertama kali dahulu.
Kini, Nur sudah tiada.
Usaha jamu diteruskan oleh rewang-nya atau asistennya, Sutini.
• Olahan Ikan Segar Nan Sehat Ala Pondok Makan Pelem Golek
"Saya mulai meracik jamu di sini sejak tahun 1982. Saya meneruskan usaha jamu ini dari Bu Nur. Bu Nur-lah yang pertama merintis jamu ini. Setelah Bu Nur meninggal, saya meneruskan yang telah dimulai oleh Bu Nur. Saat dulu itu saya rewangnya, sekarang saya yang menjalankan," cerita Sutini sembari sibuk meracik jamu pesanan pelanggan.
Perjalanan jamu Bu Nur dimulai dari rempah-rempah pilihan yang masih alami.
Bahan-bahan herbal seperti Kunir, Jahe, Kencur, Temu Ireng, Temu Kunci, dan bahan lainnya didatangkan dari Kranggan, Temanggung, dan sebagian dari daerah lainnya.
Bahan-bahan itu kemudian dibawa oleh Sutini untuk diracik di rumahnya.
Pagi-pagi sekali, ia sudah bangun dan mulai membuat racikan.
Dari manisnya ramuan gula jawa, sampai pahitnya Bratawali.
Semuanya dilakukan seorang diri.
Seluruh bahan-bahan ini diproses secara manual.
Rebusan gula, bratawali, sampai rempah-rempah, semua dimasak dengan menggunakan arang.
Selesai itu, pukul 08.00-09.00, ia bersiap bertolak menuju ke pasar.
Bahan-bahan yang telah diracik semua dibawa ke dalam gendongan, dan angkutan.
Pukul 09.30 WIB, ia membuka kiosnya yang terletak di los jamu Pasar Rejowinangun.
Di sana, beberapa pembeli sudah tampak menunggu.
"Racikan jamu saya semua diracik langsung, dengan menumbuk sendiri. Bahan-bahan atau rempah-rempah, datang dari beberapa tempat. Bahan-bahan juga didatangkan dari Kranggan, Temanggung. Rampung-rampungan masak itu, pagi-pagi, saya mulai siapkan bahan. Bedanya, kalau jamu punya saya alami, karena kadang ada yang bubuk. Namun, jamu punya saya alami dan baru semua. Tradisional, tidak ada unsur kimia. Rebusan gula dari gula jawa asli, pahitan dari bratawali, semua dimasak menggunakan arang," tutur ibu beranak satu tersebut.
Ramuan jamu yang lengkap itu lah yang membuat banyak masyarakat datang kemari.
• Dampak Corona, Jamu di Kota Magelang Laris Manis Diserbu Pembeli
Lengkap dan dapat untuk keluhan apa saja.
Mau sakit lambung, ada jamunya.
Darah tinggi, asam urat, pegal linu, sampai keputihan, semua ada jamunya.
Sutini bak apoteker.
Pelanggan bilang keluhannya apa, Sutini langsung meracik jamunya.
Uniknya, jamu Sutini ini tidak ada namanya.
Semua resep dan racikan tidak ditulis dan sudah ada di ingatannya.
"Ramuannya lengkap di sini. Jamu apa saja. Kalau baru minum, ya tidak pakai asem, tidak pakai panas. Kalau khasiatnya, bisa meringankan sakit apa saja. Darah tinggi, pegal linu, asam urat, rheumatik. Bisa, Iinsya allah ya diberikan kesembuhan. Perut kembung, minum jamu ya sembuh. Jamu apa aja. Jamu bayen, darah tinggi, galian singset, susut perut, pegal linu, macam-macam, keputihan. Semua ada," kata Sutini.
Mulai pukul 09.30 WIB, kios jamu dibuka, pelanggan sudah berdatangan.
Pembeli terus berdatangan sampai kios ditutup pada pukul 16.00 WIB.
Mereka datang, dari yang muda sampai tua, baik pria ataupun wanita.
Harganya pun sangat terjangkau.
Mulai dari Rp 3.000 sampai yang paling mahal hanya Rp 20 ribu saja.
Setiap hari Kios Jamu Bu Nur buka, tujuh hari dalam seminggu.
Kios Jamu Bu Nur ini pertama kali ada di depan Toko Abadi.
• Virus Corona Mewabah, Permintaan Jamu Herbal di Bantul Meningkat
Saat itu, Bu Nur yang masih berjualan dibantu Sutini sebagai rewang.
Setelah beberapa lama, mereka pun pindah ke pasar, tetapi terjadi kebakaran di pasar.
Mereka pun pindah ke pasar darurat di Pasar Setres.
Baru kembali lagi ke Pasar Rejowinangun pada tahun 2013.
"Tiap hari buka, dari Senin-Minggu. Kalau libur, nanti dimarahin pelanggan yang jauh-jauh. Sudah sejak dulu seperti ini, sejak tahun 1982. Walaupun sudah pindah berkali-kali. Pertama di depan Abadi. Setelah pasar kebakaran itu, pindah ke Pasar Setres, ya tetap dicari. Kemudian pindah lagi ke sini, kalau ga salah tahun 2013," tuturnya.
Di saat, teknologi kesehatan dan obat yang begitu pesar, ternyata jamu masih bertahan.
Begitu juga dengan Kios Jamu Bu Nur yang masih terus bertahan sampai sekarang. Sutini, sang peracik jamu sendiri percaya akan khasiat jamu.
Jamu adalah kearifan lokal dan tinggalan dari nenek moyang yang dipercaya dulu hingga sekarang.
• Permintaan Meningkat, Pedagang Pasar Beringharjo Yogyakarta Racik Empon-Empon Corona
Dia pun tetap tenang dan tak khawatir jamu akan punah.
Buktinya, Sutini masih terus menumbuk racikannya dan menanti pembeli menjemput jamunya.
"Kenapa masih jamu kan banyak pengobatan lain, ya karena yang mengambil jamu juga banyak sampai sekarang. Jamu ini kan sudah ada sejak dulu dan banyak khasiatnya. Kalau ditanya sampai kapan bikin jamu ya, sampai tidak tahu, sampai nanti. Sekarang putra saya pegawai, tapi nanti entah yang meneruskan pasti ada. Saya yakin," kata Sutini.
Sementara Bu Sutini menceritakan perjalanan jamunya, sang pelanggan yang sakit lambung itu sudah agak baikan.
Pelanggan itu ternyata seorang warga Jawa Barat yang pindah ke Jogja, dan bekerja di Magelang. Dadi (45), mengatakan, ia sudah berlangganan jamu di Kios Jamu Bu Nur Pasar Rejowinangun ini sudah sejak lama.
Sejak perintisnya, Nur masih ada. Saat itu awal reformasi tahun 1998.
"Saya warga Jawa Barat, tetapi langganan jamu di sini. Saya sudah langganan di sini sejak 1998 pas reformasi sudah di sini, sejak ibu (Nur) masih ada. Dulunya yang punya bu Nur, sekarang sudah almarhum. Sekarang Mbah Sutini ini," kata Dadik.
• Pemkab Klaten Gencar Promosikan Jamu Tradisional untuk Jaga Warisan Leluhur
Cocok, menjadi alasan Dadi terus berlangganan di sini.
Ia melihat proses pembuatan jamu yang menggunakan bahan-bahan alami.
Ramuan jamu, tidak menggunakan bahan tambahan, kimia atau pengawet, itu yang membuat Dadi tak merasa khawatir.
Ketika ia merasa keluhan, tinggal bilang sakit apa, nanti jamu akan dibuatkan.
Sakit pun reda.
"Pesan jamu, keluhan apa yang dirasakan apa. Kadang-kadang capek, kayak sekarang asam lambung, kalau itu jamu yang bikin ibunya. Saya tinggal minum. Kurang hapal. keluhan apa, tinggal saya minum. Rasanya, alhamdulillah, cocok. Jauh-jauh dari jogja, pas kesini mampir sini. Yang pertama harga terjangkau, kan murah to. Kalau harga ga masalah yang penting cocoknya itu. Sebetulnya kalau masalah harga mau murah mahal, tidak jadi masalah yang penting cocok. Ini asli tradisional, tidak ada unsur kimia bahan tambahan. Dari dulu sampai sekarang ya begini. Orang pada tahu karena sudah langganan, walaupun pindah kios orang cari," pungkasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)