Jawa
Begini Cerita 4 Desa yang Hilang pada Erupsi Gunung Merapi Tahun 1961
Begitu dahsyatnya letusan Merapi, sampai terdapat empat desa di Kabupaten Magelang yang hilang ditelan lahar dingin Gunung Merapi.
Penulis: Rendika Ferri K | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Rendika Ferri K
TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Letusan Gunung Merapi pada tahun 1961 menyisakan kisah yang dramatis.
Erupsi yang terjadi kala itu begitu dahsyat, hingga banyak korban jiwa berjatuhan.
Begitu dahsyatnya letusan Merapi, sampai terdapat empat desa di Kabupaten Magelang yang hilang ditelan lahar dingin Gunung Merapi.
Keempat desa ini yakni Desa Ngori, Desa Kaligesik, Desa Gimbal dan Desa Bubuhan.
Desa tersebut lenyap, terkubur dalam tanah.
• Longsor Mengancam Jalan dan 8 Rumah Warga di Magelang
Apa yang tersisa hanya lahan hutan yang tumbuh di atas tanah dari lahar yang dulu menyapu desa, juga cerita dari penduduk sekitar dan bekas penduduk desa yang dulu bertransmigrasi ke Lampung.
Kepala Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Yusuf Herlambang, menuturkan, ada empat desa yang dulu terdampak Erupsi Gunung Merapi Tahun 1961 silam.
Keempat desa tersebut yakni Desa Kaligesik, Ngori, Brubuhan dan Ngimbal. Desa Kaligesik dan Ngori dulu masuk wilayah Desa Kemiren. Sementara, Desa Ngimbal dan Brubuhan, dahulu masuk wilayah Desa Kaliurang.
Yusuf menceritakan, setelah erupsi terjadi, desa-desa itu tidak dapat dihuni dan dinyatakan larangan untuk hunian.
Dampak erupsi begitu hebat menyebabkan hancurnya permukiman penduduk desa setempat akibat tersapu lahar.
Lahan dan perkebunan mereka tak dapat dimanfaatkan lagi.
Desa-desa itu kemudian ditinggal penduduknya bedol desa ke Lampung.
"Kita tidak tahu persis berapa KK yang bertransmigrasi, karena di desa itu banyak yang bertransmigrasi. Dampak erupsi menyebabkan hancurnya permukiman, tersapu lahar. Hancurnya perekonomian, lahan-lahan dan perkebunan mereka tak dapat dimanfaatkan lagi. Desa-desa itu ditinggal penduduknya bedol desa ke Lampung," tutur Yusuf.
• Fasilitas Stadion Gemilang Kabupaten Magelang Akan Diperlengkap Jadi Sport Center
Yusuf bercerita, erupsi yang terjadi pada tahun 1961 lebih dahsyat dari erupsi pada tahun 2010 lalu.
Sistem peringatan dini terhadap bencana, Early Warning System (EWS) saat itu belum ada.
Kesiapsiagaan bencana dari masyarakat dan pemerintah belum seperti saat ini.
Akibatnya, banyak korban berjatuhan, tetapi data korban tak terdokumentasi, terdata, dan teridentifikasi dengan baik.
Kerugian yang ditimbulkan begitu besar dan belum bisa dipastikan.
"Menurut cerita, erupsi 1961 dulu lebih dahsyat dari tahun 2010, karena waktu itu EWS belum ada, jadi kesiapsiagaan bencana dari masyarakat dan pemerintah belum seperti saat ini. Korban banyak tetapi tak teridentifikasi, semua masih catatan tangan dan tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga sulit untuk mengenali banyak korban. Seberapa besar kerugian belum bisa dipastikan," katanya.
Lanjutnya, erupsi tahun 1961 menyebabkan lahan-lahan tidak bisa dihuni dan dinyatakan larangan untuk hunian.
• Longsor Mengancam Jalan dan 8 Rumah Warga di Magelang
Sebetulnya dulu terdapat sebelas desa yang terdampak.
Dua desa di Kecamatan Dukun, dan sembilan desa di Kecamatan Srumbung, termasuk Kemrien, Kaliurang dan desa lain.
Desa-desa di luar empat desa ini dihuni kembali dan diberikan kewenangan membuat pemerintahan desa yang baru, karena di tempat tersebut dinyatakan masih cukup mengadakan pemerintah baru.
Sementara empat desa yang disebutkan di awal tulisan, sudah masuk tak layak huni dan dekat dengan Gunung Merapi.
Jaraknya tiga kilometer dari puncak.
Semua sudah dinyatakan kosong dan dianjurkan untuk bedol desa.
• 5 Tahap Mudah Tutorial Skincare Morning Routine, Jaga Kulit Wajah Agar Sehat Sedari Pagi
"Empat desa yang terdampak erupsi tahun 1961 yang ditinggal penduduknya, bedol desa ke Lampung. Empat desa ini terdiri dari Desa Ngimbal, Brubuhan, Desa Ngori dan Kali Gesik," kata Yusuf.
Bekas hunian di eks empat desa itu memang sudah berubah.
Patok-patok batas antar dusun sudah tidak diketahui.
Bekas rumah dan makam tak terlihat lagi, teruruk di dalam lapisan lahar dingin yang tebal.
Kini, bekas wilayah Desa Ngori itu menjadi hamparan pertambangan.
Sementara di luar itu menjadi lahan rakyat. Lahan rakyat yang ditanami sejumlah tanaman untuk penghijauan.
• Tebing Longsor dan Belasan Rumah Rusak Akibat Angin Kencang di Magelang
"Sejumlah lahan ditanami dengan tanaman bebas, yang penting disitu ada istilahnya keinginan untuk menghijaukan. Tak termotivasi untuk bisnis atau ekonomi, yang penting terjaga dengan baik. Kalau patok-patok batas antar dusun, tidak diketahui, karena tersapu lahar waktu itu. Bekas rumah dan makam tak terlihat, teruruk lahar dingin," kata Yusuf.
Yusuf sendiri bercerita saudara dari neneknya yang kembali ke eks desa yang tersapu Merapi itu.
Saudaranya kembali dengan tujuan takziah kepada saudara lain yang meninggal, sekaligus menengok bekas tempat tinggalnya dulu.
Saat datang ke sana, ia sudah tak mengenali lagi di mana rumahnya dulu berdiri.
Semua sudah menjadi hutan dan berubah tak terlihat lagi.
"Saudara mbah saya, juga embali ke sini. Mereka bertakziah saat bulik saya meninggal dan sekaligus menengok bekas tempat tinggalnya lagi. Ternyata sudah jadi hutan, berubah dari dulu. Kini tak terlihat lagi," katanya.
• Curah Hujan Tinggi, 5 Titik Longsor dan Sungai Meluap di Kota Magelang
Keberadaan Empat Desa Dihapuskan Secara Administratif
Empat desa di Kecamatan Srumbung yang terdampak erupsi Merapi 1961 itu ditransmigrasikan ke Lampung.
Pada tahun 1976, Gubernur menetapkan kawasan tersebut kawasan merah.
Zona bahaya yang tak boleh ditempati ataupun dihuni.
Empat desa itu yakni Desa Ngimbal, Brubuhan, Ngori dan Kali Gesik, dihapus keberadaannya secara administratif.
"Empat desa itu dihapus. Desa tidak boleh ditempati, tidak boleh dihuni. Kawasan itu menjadi kawasan merah, zona bahaya karena letaknya yang persis di bawah Merapi,” kata Kepala Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten Magelang, Nanda Cahyadi Pribadi.
Pemkab Magelang pun memfasilitasi perihal persoalan aduan warga kepada Ombudsman RI.
• Menjajal Mie Ayam Seharga Rp 2.000 di Magelang, Tak Kalah Sedap
Warga yang mengatasnamakan warga terdahulu, yang kini tinggal di Lampung, meminta ganti rugi korban erupsi Merapi 1961. Fasilitasi pun sudah dilakukan sejak tahun 2000.
"Pemkab terus melakukan fasilitasi terhadap persoalan ini. Namun, semua masih dalam kajian, siapa yang berwenang memberi ganti rugi, berapa ganti ruginya, obyeknya juga harus jelas, tanah milik siapa, luasnya berapa, posisinya di mana. Sementara, kondisi tanah sekarang sudah sangat tidak memungkinkan untuk itu," katanya.
Pertemuan antara Pemkab Magelang dan Ombudsman RI pada 23 Januari 2020 lalu sudah menghasilkan hasil.
Hasilnya, Pemkab Magelang sesuai kewenangannya dalam ranah pengawasan.
Pengawasan untuk mengawasi obyek tanah yang dimaksud dalam permintaan oleh perwakilan warga. Sementara penyelesaian diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Provinsi.
“Ranahnya Pemkab sudah disepakati, sedangkan untuk penyelesaian itu diserahkan sepenuhnya kepada Pemprov. Kita akan dorong Tim Pengawasan ini bisa berkoordinasi dengan Pemprov untuk bisa dibentuk Tim Terpadu, yang mestinya akan dibentuk oleh provinsi. Pemkab Magelang dalam posisi melakukan fasilitasi, pengawasan dan inventarisasi obyek tanah yang dimaksud dalam permintaan sebagai ganti rugi," katanya.(TRIBUNJOGJA.COM)