Prof Koentjoro : Siswa Pelaku Penusukan Guru Miliki Kelainan

Kasus penusukan oleh seorang siswa terhadap gurunya sendiri karena cintanya tidak terbalas terjadi karena pelaku memiliki kelainan.

Penulis: Siti Umaiyah | Editor: Hari Susmayanti
zoom-inlihat foto Prof Koentjoro : Siswa Pelaku Penusukan Guru Miliki Kelainan
tribunjogja/ikrargilangrabbani
Prof. Drs. Koentjoro, MBSc., Ph. D - Psikolog UGM

TRIBUNJOGJA.COM - Kasus penusukan oleh seorang siswa terhadap gurunya sendiri karena cintanya tidak terbalas terjadi karena pelaku memiliki kelainan.

Psikolog UGM, Prof Koentjoro Psikolog menjelaskan, biasanya kasus seperti itu terjadi pada orang yang pendiam.

Orang yang pendiam tersebut biasanya selalu memendam semua masalah yang dihadapinya hingga kemudian berkecamuk di dalam dirinya.

Jika sudah mencapai puncaknya, orang tersebut bisa melakukan segala cara.

"Rasa senang itu digambarkan di hati terus hingga akhirnya pada puncaknya. Yang perlu didata adalah apakah dia pernah mengungkapkan rasa cintanya, bagaimana mengungkap rasa cinta dan bagaimana dia ditolak. Apakah ditolak membuat dia sakit hati. Ini yang menjadi masalah," terangnya saat dimintai tanggapan terkait kasus penusukan siswa SMA terhadap gurunya sendiri karena permasalahan cinta tak berbalas.

Koentjoro memandang, siswa yang tega menusuk gurunya ini memiliki kelainan, dimana dia bisa merencanakan dan melakukannya seorang diri.

Menurutnya, ketika siswa tersebut dibiarkan dan tidak mendapatkan penanganan maka dia bisa menjadi profesional.

"Tapi kalau saya melihat anak ini ada kelainan, dari mana saya melihat, dia semuanya merencanakan seorang diri. Kemudian setelah itu tanya ada apa. Tapi dia teledor pisau dan hp-nya masih ada di tempat kejadian, itu yang membuat cepat terlacak. Ini tapi calon, kalau dia terlatih bisa jadi profesional, karena dia sudah bisa berpura-pura seperti itu," ungkapnya.

Kronologi Siswa SMA Tusuk Guru di Bantul, Pelaku Nekat Menyelinap Masuk Kamar Lalu Tusuk Bu Guru

Lebih lanjut Koentjoro menyebutkan, seperti halnya teori yang dikemukakan oleh John Bowlby, bahwasanya manusia memiliki sifat ketika dia terikat dia ingin bebas, dan ketika dia bebas, dia ingin terikat. Masa-masa di usia 16 akhir merupakan masa dimana seseorang yang tadinya di usia 14, 15 dan 16 dia bebas sebebas-bebasnya, menjadi ingin memulai terikat.

Di dalam kasus ini, karena merasa mendapat afeksi dari gurunya dan di rumah dirinya tidak mendapatkan kasih sayang, maka dia salah mengerti antara kasih sayang seorang guru dengan kasih sayang anak muda.

"Barangkali di rumah, anak ini kurang belaian kasih sayang, kurang perhatian. Kasih sayang seorang ibu dengan anak muda itu beda, dia tidak bisa membedakan. Apa yang dihadirkan oleh gurunya ditangkapnya sebagai cinta, ketika dinyatakan, baru kemudian ditolak karena ternyata bu guru sudah punya suami," ungkapnya

Menurutnya, siswa tersebut tega menusuk gurunya bukan karena cintanya, namun lebih kepada rasa kecewanya karena ditolak. 

"Di rumah sebenarnya itu terjadi konflik pada dirinya, bunuh atau tidak. Sakitnya dia dipendam, dipikir sendiri, akhirnya yang berkembang bahwa guru telah menyakiti hati saya, maka bawa pisau, mengendap dan menusuk," terangnya.

Lebih lanjut Koentjoro menjelaskan, sebenarnya pendidikan moral dan etika itu di awali dari keluarga, kemudian masyarakat dan sekolah, yang semuanya berkolerasi dan ketika tidak terpenuhi salah satu maka akan terjadi masalah.

"Pendidikan moral dan etika itu di rumah, itu tidak tiba-tiba dan dimulai dari keluarga. Tri Pusat Pendidikan. Pendidikan boleh dan tidak boleh, benar salah itu di rumah, ketika di masyarakat di uji benar tidaknya lalu kembali ke rumah diingatkan. Kemudian ke sekolah juga sama seperti itu. Jangan semua diserahkan ke sekolah," ungkapnya. (Tribunjogja/Siti Umaiyah)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved