Jejak Kuno di Kulon Progo Mulai Terkuak, Ada Sesuatu di Dekat Sendang
Kisah penemuan dan kemunculan situs bata kuno ukuran jumbo di Desa Kaliagung, Kecamatan Sentolo, Kulon Progo, DIY, bermula dari ketidaksengajaan.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Jejak Kuno di Kulon Progo Mulai Terkuak, Ada Sesuatu di Dekat Sendang
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Kisah penemuan dan kemunculan situs bata kuno ukuran jumbo di Desa Kaliagung, Kecamatan Sentolo, Kulon Progo, DIY, bermula dari ketidaksengajaan.
Cerita ini diungkapkan Pawirorejo, penggemar sejarah kuno asal Sleman, kepada Tribunjogja.com saat mengunjungi lokasi penemuan, Selasa (1/10/2019).
Awalnya, ia bertukar informasi dengan teman baiknya, warga Sentolo.
Peta Desa Kaliagung, Sentolo, Kulon Progo
“Saya sejak lama penasaran, Kulon Progo kok jarang sekali ada temuan jejak kuno masa Mataram,” kata Pawirorejo.
“Nah, minggu lalu saya mendapat secuil info dari teman saya, Mas Albani, warga Kaliagung. Di desanya ada sendang kuno, tak pernah surut airnya meski kemarau panjang,” katanya.
“Saya bilang, ada jejak kunonya gak di sendang itu. Misal pancuran seperti petirtan, arca, atau atau batu-batu candi,” lanjut pria yang berprofesi sebagai pekerja konstruksi bangunan ini.
• Kisah Perang Sengit Rebutan Tahta di Era Mataram Kuno
Albani, menurut Pawiro, lalu menceritakan sebuah lokasi lain tak jauh dari sendang itu, yang oleh warga setempat disebut ngreco.
Berbekal informasi pendek itu, Pawiro mengunjungi lokasi dimaksud, ditemani Albani. Ternyata, ia menemukan sebaran fragmen batu bata merah besar dan batu putih.

Ciri fisiknya sangat kuat seperti komponen bangunan kuno atau candi. Ia lalu menghubungi lewat telepon, relasinya di BPCB DIY.
Pawiro diminta membuat surat laporan resmi ke BPCB DIY, Rabu (25/9/2019).
• Batu Bata Super Jumbo Ditemukan di Kulon Progo, Diduga Reruntuhan Candi Kuno
Empat hari kemudian, atau Senin (30/9/2019) pagi, tim BPCB DIY mendatangi lokasi yang dilaporkan.
Tim terdiri arkeolog bidang penyelamatan dan pemugaran, Inung dan Yozes Tanzaq, dan beberapa staf lain bidang dokumentasi.
“Respon BPCB DIY sangat baik dan cepat. Mereka datang meninjau, mendokumentasikan, dan mengambil beberapa contoh bata dari lokasi,” kata Pawiro.

Menurutnya, saat menemani tim BPCB DIY menelusuri area, baik di dasar sungai, maupun di lereng gumuk, dan bagian atasnya, keyakinan bahwa lokasi itu situs kuno terlihat menguat.
Yozes menurut Pawiro, menunjuk titik yang dia yakini lokasi insitu bangunan kuno yang fragmennya tersebar di berbagai tempat.
• Menguak Angka Tahun Prasasti Canggal, Penanda Awal Kekuasaan Mataram Kuno
Setelah mengamati sejumlah contoh batu bata besar di sejumlah titik, dan begitu menemukan dua potong bata merah yang memiliki takikan, Yozes meyakini itu bagian struktur bangunan candi.
Bahan pembentuk candi di bagian dasar atau kaki batu putih, sedangkan tubuhnya berupa bata merah ukuran jumbo.

Tim BPCB DIY meminta izin Ketua RT setempat untuk membawa sejumlah contoh batu bata merah, untuk diteliti di laboratorium.
Jika bangunan kuno yang diperkirakan dari masa Mataram kuno itu dibangun menggunakan bata merah, akan menjadi situs pertama candi di wilayah Yogyakarta yang menggunakan bata merah.
• Misteri Candi-candi yang Saling Membelakangi, Mungkinkah Ini Petunjuk Ibukota Mataram Kuno?
Selama ini, candi bata merah identik dengan peninggalan-peninggalan kebudayaan Majapahit. Bangunan seperti itu banyak didirikan di wilayah Jawa Timur.
Namun, di kawasan pantura Karawang, tepatnya di komplek situs Batujaya, semua bangunan kuno di kawasan ini yang usianya lebih tua dari Mataram kuno, berbahan bata merah.

Terkait perkiraan sumber bahan baku bangunan kuno di Kaliagung, Sentolo, Kulonprogo ini, hampir semua warga setempat menggeleng saat ditanya apakah di dekat desa itu terdapat industri pembuatan bata merah.
Demikian juga wilayah yang memiliki potensi bahan baku tanah untuk bata merah. “Rasanya kok tidak ada di sekitar sini,” kata Mbah Narko.
• Melihat Harta Karun Mataram Kuno, dari si Cantik Prajdnaparamita Hingga Mangkuk Emas Relief Ramayana
“Tidak ada di Kaliagung dan sekitarnya. Rata-rata tanah di sini kalau tidak putih ya lempung hitam,” tukas Supanto, warga Ngrandu, Kaliagung.
“Di daerah Sentolo utara, sepertinya ada wilayah yang tanahnya merah. Tapi tidak tahu apa cocok untuk bata merah,” ujar Pujo Suwito, warga Banyunganti Kidul, Kaliagung.
Sementara untuk batu putih, potensi daerah yang memiliki lapisan batu putih yang bisa ditambang terdapat di sekitar Sentolo.
Terkait lokasi ngreco, Supanto, cucu Mbah Ponco Pawiro, pemilik lahan luas di tempat itu, mengatakan, dulunya daerah sepanjang tepi sungai itu dataran.
• Singgah di Obyek Wisata Sejarah Makam Raja-raja Mataram Kuno di Kotagede Yogyakarta
“Ketinggiannya sesuai permukaan tanah yang ada pohon jambu air itu. Jadi ini dulu dataran sampai utara sana,” tunjuk Supanto di lokasi penemuan.
“Saya ya hanya mendengar cerita tentang ngreco dan candi ini dari simbah-simbah. Tidak pernah lihat wujud arcanya seperti apa,” kata petani di Dusun Ngrandu ini.
Lalu, ketika aliran sungai digeser ke barat menjauh dari rumah Mbah Narko, sejak itulah kerap longsor dan tererosi hingga seperti sekarang ini,” lanjutnya.
Di bagian tanah rendah tepi sungai itu, dulu ketika masih saya garap, tiap-tiap mencangkul pasti kena batu bata atau batu putih. Akhirnya hanya saya tanami rumput kolonjono,” katanya.
Tentang adanya kisah-kisah aneh seputar situs itu, Mbah Pujo Suwito (77), warga Banyunganti Kidul, menceritakan kejadian beberapa tahun lalu dialami warga tetangga dusun.
Seorang pemuda yang malam itu mencari ikan di sungai bersama teman-temannya, mendadak jatuh sakit, tidak bisa bicara setelah konon melihat penampakan dekat phon jambu air di situs ngreco.
“Teman-temannya sedang nyuluh ikan di bawah, ia menunggu di bagian atas sungai. TIba-tiba katanya anak itu melihat sosok tinggi besar di dekat pohon jambu. Dia syok, kaku tak bisa ngomong,” kata Mbah Pujo.
Kisah-kisah unik ini mewarnai kehidupan sosial penduduk di sekitar lokasi situs kuno di Desa Kaliagung ini.
“Tak ada yang berani bawa batu dari sana,” tutur Mbah Narko (82), warga yang rumahnya paling dekat dari lokasi ngreco.
Menurut Pawirorejo, aktivis dan blusukers situs-situs kuno di Yogyakarta, kisah-kisah seperti itu memiliki kekuatan natural terkait kelestarian artefak sejarah.
Namun demikian, tak selamanya juga kuat menghadapi potensi perusakan dan penjarahan. Lenyapnya tiga arca dari gumuk di Desa Kaliagung mengindikasikan hal itu. (Tribunjogja.com/Setya Krisna Sumarga)