Siswa Senior SMK Kelautan Kulon Progo Diduga Pukuli Adik Kelasnya, Begini Perkembangannya
Kepolisian Resor Kulon Progo segera bergerak mengusut dugaan kasus kekerasan terhadap siswa di SMKN 1 Temon atau SMK Kelautan
Penulis: Singgih Wahyu Nugraha | Editor: Iwan Al Khasni
Siswa Senior SMK Kelautan Kulon Progo Diduga Pukuli Adik Kelasnya, Begini Perkembangannya
TRIBUNjogja.com KULONPROGO --- Kepolisian Resor Kulon Progo segera bergerak mengusut dugaan kasus kekerasan terhadap siswa di SMKN 1 Temon atau SMK Kelautan.
Rencananya, siswa-siswa senior yang dilaporkan oleh orang tua korban akan segera dipangil untuk pemeriksaan.
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Kulon Progo, AKP Ngadi mengatakan pihaknya sejauh ini masih melakukan pendalaman atas kasus tersebut.
Setelah ada laporan dari pihak keluarga korban, MDP (15), pihaknya juga telah melakukan pemeriksaan awal dan menghimpun keterangan dari para saksi pelapor pada Kamis (19/9/2019) lalu.
Untuk selanjutnya, pemeriksaan juga akan dilakukan kepada para siswa yang namanya dilaporkan tersebut.
"Pihak terlapor (siswa senior) rencana juga akan segera kita panggil,"kata Ngadi, Minggu (22/9/2019).
Ia belum bersedia menyampaikan kapanpemanggilan para siswa terlapor itu akan dilakukan.
Pihaknya masih mencari waktu mengingat status para terlapor sebagai pelajar aktif dan polisi tak ingin mengganggu jam belajarnya.
Menurutnya, aturan hukum yang disangkakan kepada para pelaku saat ini adalah Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Hal ini bisa saja berkembang dengan jeratan pasal berlapis jika perkembangan penyidikan ada data cukup kuat mengingat korban masih di bawah umur.
Namun begitu, pihaknya akan melihat perkembangan selanjutnya.
• Kisah Jalan Moses Gatotkaca Gejayan Yogyakarta yang Bersejarah
Kronologi
Diberitakan sebelumnya, tindak kekerasan terhadap siswa diduga terjadi di lingkungan SMK Negeri 1 Temon atau SMK Kelautan. Seorang siswa kelas X dianiaya sejumlah seniornya di sekolah tersebut hingga terpaksa pindah sekolah.
Informasi dihimpun, tindak kekerasan itu menimpa siswa bernama MDP (15) pada Selasa (10/9/2019).
Remaja lelaki warga Ngestiharjo, Kecamatan Wates itu mendapat kekerasan fisik dari sekitar 8 orang kakak kelasnya setelah beberapa hari sebelumnya kepergok merokok di sebuah musala dekat sekolahannya.
Aksi kekerasan itu terjadi pada jam aktif sekolah sekitar pukul 11.30 atau menjelang jam istirahat kedua.
MDP saat itu mendapat pukulan, tamparan, dan tendangan pada sejumlah bagian tubuhnya dari para seniornya itu. Akibatnya, ia menderita luka di bagian dalam mulut hingga berdarah, sesak napas, dan pendengaran telinga kanannya terganggu.
Peristiwa ini sudah dilaporkan ke polisi oleh orangtuanya yang mendapati bercak darah di celana seragam MDP. Mereka menjalani pemeriksaan untuk penyusunan berkas acara pemeriksaan (BAP) di Polres Kulon Progo pada Kamis (19/9).
"Awalya istri saya curiga dengan kondisi MDP dan melihat ada luka di mulut serta bercak darah di celana. Setelah dikejar pertanyaan, barulah anak kami mengaku ada tindak kekerasan dari kakak kelasnya. Lalu kami bawa periksa ke dokter,"kata Ayah MDP, Tito Pangesti Adji seusai pemeriksaan di Polres Kulon Progo.
• Dokumen Perencanaan Tol Yogyakarta-Solo dan Bawen-Yogyakarta Dikembalikan
Pihaknya lalu mendatangi sekolah untuk mengklarifikasi terkait kejadian itu dan dipertemukan dengan delapan siswa pelaku penganiayaan terhadap anaknya.
Namun, ia tidak cukup puas dengan sikap sekolah atas penanganan kejadian itu dan tidak ada yang menjenguk anaknya selama tidak masuk sekolah setelah kejadian itu.
Anaknya pun enggan bersekolah lagi di sekolah tersebut meski sudah dibujuknya dan kini sudah mendaftar di sebuah sekolah swasta di Wates.
Di sisi lain, dari informasi yang didapatnya dari MDP, ada ancaman dari para siswa senior bahwa anaknya akan dihajar lagi di luar sekolah jika sampai berani mengadukan aksi kekerasan tersebut kepada orangtuanya.
Apalagi, kejadian itu bukan pertamakalinya karena beberapa minggu sebelumnya anaknya juga mengalami hal serupa.
Hal inilah yang kemudian mendorongnya untuk menempuh jalur hukum karena menurutnya siswa senior tidak berhak memberi hukuman pada juniornya, termasuk tindakan fisik.
Ia berharap tidak ada lagi kejadian serupa di institusi pendidikan sekalipun sekolah itu menerapkan pendidikan berdisiplin tinggi.
"Saya akui anak saya bersalah. Tapi saya tidak semata membelanya mengingat sebelumnya sudah ada perlakuan yang sama. Penting bagi saya untuk memastikan keselamatan anak saya.Semestinya tidak terjadi yang begitu (kekerasan fisik). Kalau ini dibiarkan terus nanti bisa jadi dendam turun temurun bagi siswa di manapun mereka berada. Bahkan, ketika sudah kerja," kata Tito yang juga pengurus Dewan Kebudayaan Kulon Progo ini.
Pada kesempatan yang sama, MDP kepada wartawan mengaku tak nyaman lagi belajar di sekolah tersebut atas kejadian itu sehingga memutuskan untuk pindah.
Hingga saat ini, telinga kanannya masih terasa berdengung dan pendengarannya terganggu akibat pukulan yang diterimanya kala itu.
Menurutnya, ia dikeroyok oleh siswa senior kelas XI yang menjadi Batalion atau organisasi serupa OSIS di sekolah tersebut.
Ia mulanya tak ingin mengadukan masalah ini karena sejak awal sudah diperingatkan oleh para seniornya itu agar tak mengadukannya pada siapapun atas tindakan fisik yang diberikan padanya. Hanya saja, ibunya memergoki bercak darah di celananya sehingga MDP tak bisa mengelak.
"Saya tidak bisa melawan karena posisi saya salah dan harus menerima hukuman. Sejak masuk sekolah sudah ada aturan hukuman seperti itu. Saat itu saya dipukul di kelas saya sendiri dan teman sekelas disuruh menunduk, tak boleh melihat (pemukulan). Tidak ada guru yang tahu juga karena saat itu di jam kosong pelajaran,"kata MDP.
Dalam laporannya, kedua orangtua MDP melaporkan lima siswa kelas X dan XI yang diduga menjadi pelaku kekerasan tersbeut.
Antara lain VFP, WO, AA, BM, dan HS. Mereka dilaporkan atas dugaan tindak pidana kekerasan terhadap anak di bawah umur.
Pengacara MDP, R Ariyawan Arditama dari Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Wates menyayangkan adanya kejadian tersebut.
Menurutnya, SMKN 1 Temon sebetulnya hanya SMK reguler dan tidak berafiliasi dengan militer sehingga tidak seharusnya kekerasan fisik macam itu terjadi di lingkungan sekolah tersebut.
Kliennya melaporkan ke polisi karena menilai tidak ada umpan balik positif dari sekolah atas penyelesaian perkara tersebut meski sebelumnya sudah ada langkah mediasi kedua belah pihak.
"Sekolah abai atas kejadian ini. Seharusnya ada sanksi khusus kepada pelaku namun sampai hari ini kami belum dengar. Seolah-olah, (tindak kekerasan) itu disetujui sekolah. Dari sisi hukum, kami serahkan pengembangan penyelidikan pada polisi selain juga kami akan menindaklanjutinya ke dinas pendidikan terkait. Jogja adalah kota pendidikan. Jangan sampai terciderai peristiwa seperti ini dan tidak boleh terlang di SMK lain,"kata Ariyawan.
Tanggapan Kepala Sekolah
DIkonfirmasi terpisah, Kepala SMKN 1 Temon, Fauzi Rokhman mengakui bahwa sekolah kecolongan atas peristiwa tersebut karena terjadi di luar pengawasan guru.
Ia membantah anggapan bahwa sekolah membiarkan ataupun membolehkan tindak kekerasan fisik kepada para siswanya oleh para guru maupun kalangan siswa itu sendiri.
Ia justru menyebut saat itu ada kemungkinan siswa senior lepas kontrol saat memberikan hukuman disiplin pada MDP yang kedapatan melanggar aturan.
"Kami tidak pernah memberikan kewenangan ataupun legalitas kepada siapapun untuk memberi hukuman fisik, baik guru maupun Batalion. Ngga pernah sama sekali, ngga ada. Kalau sanksi, paling hanya jalan jongkok jika ada yang terlambat. Saat itu mungkin (siswa senior) lepas kontrol karena (MDP) sudah diingatkan tapi tidak ada respon positif,"kata Fauzi.
Pihaknya juga membantah kabar pengeroyokan terhadap MDP oleh pada siswa senior meski tak dijabarkannya secara jelas.
Hal sebenarnya yang terjadi saat itu menurutnya beberapa siswa senior masuk ke kelas MDP, memperingatkan, lalu terjadi aksi dorong dan penamparan dan disebutnya lepas kendali.
Ada delapan orang siswa senior dari Batalion yang terlibat aksi tersebut. Terhadap para pelaku, sekolah menurut Fauzi sudah memberikan sanksi.
"Sanksi kepada pelaku, kita suruh jalan jongkok. Tapi tidak dipukuli,"kata Fauzi. ( Tribunjogja.com )