Kisah Misteri Gedung Bekas Pengadilan Negeri Belanda di Indramayu yang Terkenal Angker
Beragam cerita seram karena diganggu oleh makhluk supranatural banyak bertadangan dari berbagai kalangan. anyak orang yang mendengar suara orang sedan
Eks Gedung Landraad atau yang umum disebut Pengadilan Negeri pada zaman Hindia Belanda yang berlokasi di Alun-alun Indramayu kondisinya rusak berat. Tidak hanya itu, karena kondisinya yang terbengkalai, Eks Gedung Landraad ini juga menimbulkan kesan mistis bagi siapa saja yang memasuki area tersebut.
.
.
Pantauan Tribuncirebon (Tribun-network) di lokasi, banyak sekali reruntuhan pada bangunan yang menjadi saksi sejarah pertama diberlakukannya penegakan hukum di Kabupaten Indramayu ini.
Saking tidak terawatnya bangunan itu juga banyak tumbuhan-tumbuhan liar yang tumbuh secara alami.
Sebagian dari tumbuhan itu juga merambat ke dalam ruangan.
Tepatnya di bagian belakang Eks Gedung Landraad, tampak jelas akar atau janggut dari pohon caringin yang berada di kawasan tersebut menjalar masuk hingga menyelimuti dinding ruangan.
Minimnya cahaya dan tidak terdapatnya satu pun alat penerangan di Eks Gedung Landraad membuat udara sekitar terasa sangat pengap.
Suasana tersebut berbanding terbalik saat berada diluar gedung.
Terlebih saat memasuki ruangan bekas penjara yang dahulu merupakan tempat beristirahat para pribumi sebelum mendapat eksekusi gantung oleh pemerintah Hindia Belanda tampak sekali mencekam.
Saat Tribuncirebon menyorotkan kamera ke dalam bekas penjara itu, kamera yang digunakan mendadak buram.
Namun, saat berpindah objek kamera kembali jernih dan saat menyorot kembali kedalam penjara kamera kembali menjadi buram.
Kasi Cagar Budaya dan Permuseuman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Indramayu, Tinus Suprapto menjelaskan, Eks Gedung Landraad memang terkenal angker.
Beragam cerita seram karena diganggu oleh makhluk supranatural banyak bertadangan dari berbagai kalangan.
Disebutkan dia, banyak orang yang mendengar suara orang sedang mandi saat malam hari, namun saat diliat kamar mandi di Eks Gedung Landraad itu tidak ada siapa-siapa, malah kondisi kamar mandi itu rusak.

"Pernah juga ada penjaga yang tidur di sini, tidurnya itu di depan. Tapi pas sadar sudah berada di bagian gedung di belakang," ujarnya kepada Tribuncirebon.com di Eks Gedung Landraad Indramayu, Jumat (13/9/2019).
Selain itu, pada sekitar tahun 2000-an, Eks Gedung Landraad ini digunakan oleh Dinas Trantib (yang sekarang Satpol PP).
Diceritakan dia, saat itu salah seorang petugas tengah berlatih seorang diri menembak menggunakan peluru karet di salah satu ruangan Eks Gedung Landraad.
Saat peluru miliknya sudah habis dan hendak mengisi peluru, tiba-tiba ada seseorang yang menembaknya dari belakang.
"Saat dilihat tidak ada siapapun di sana, padahal itu di siang hari," ujar dia.
Sejarah Gedung
Tinus Suprapto mengatakan, Gedung Landraad ini dibangun pada tahun 1912.
"Ini tempat pengadilan para pribumi dulu pada masa Hindia Belanda," ujar dia.
Dirinya menjelaskan, dahulu tempat tersebut digunakan sebagai tempat ketuk palu eksekusi hukum gantung bagi para pribumi.
Mereka dihukum oleh para hakim pada zaman Hindia Belanda karena tidak taat membayar pajak, melanggar undang-undang, dan lain sebagainya.
"Makanya dalam sejarah hakim pengadilan di Landraad ini kaya orang Inggris atau Belanda gitu, rambutnya pakai seperti rambut palsu semacam itu," ucapnya.
Diceritakan dia, mereka (para pribumi) yang dinyatakan bersalah akan dihukum gantung oleh eksekutor yang merupakan orang-orang penjajah.
Mereka digantung hingga mati di kawasan Pohon Randu Gede dan disaksikan oleh masyarakat luas. Lokasi Pohon Randu Gede ini juga tidak berjarak jauh dari Gedung Landraad.
"Ada di sana (arah barat) tidak jauh dari sini," ujarnya.
Sementara itu, Tinus Suprapto menjelaskan, Eks Gedung Landraad terdiri dari beberapa bagian, ada aula pengadilan, kantor-kantor bagi para hakim, jaksa, dan lain sebagainya.
Serta ada pula penjara sementara yang dikhususkan untuk para tahanan, ruang tahanan ini ada di bagian belakang Eks Gedung Landraad.
Adapun ciri yang menandakan bahwa bangunan ini adalah tilas bangunan pemerintahan Belanda adalah terdapatnya keramik yang sama persis pada bangunan-bangunan Belanda lainnya, seperti Gedung Eks Asisten Residen Indramayu, dan lain-lain.
"Semua bagian bagunan ini masih masa persis dengan bangunan aslinya dahulu, bisa dilihat dari kayu-kayunya, bentuknya, yang paling menandakan itu di kramik, kramik ini didatangkan pemerintah Belanda dari Inggris dulunya," ujar dia.
Selain Eks Gedung Pengadilan Negeri atau Landraad masih di kawasan yang sama juga terdapat Eks Gedung Kejaksaan Indramayu.
Hal tersebut karena tata kota Indramayu saat itu menganut pola Macapat atau Mocopat.
Cirinya adalah pembangunan gedung istana pemerintah atau Pendopo, Alun-alun, pasar, Pengadilan, Kejaksaan, serta penjara jaraknya saling berdekatan.
Adapun Eks Gedung Landraad ini digunakan pemerintah Hindia Belanda dahulu mulai tahun 1912 hingga masa kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945.
Setelah itu, Gedung Landraad digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk menjalankan keadilan hukum di wilayah Kabupaten Indramayu.
Lanjut dia, Gedung Landraad kemudian berganti nama menjadi Pengadilan Negeri Kelas 1B Indramayu pada tahun 1981.
Masih di tahun yang sama, Pemerintah Kabupaten Indramayu juga memindahkan lokasi pusat penegakan hukum itu yang sekarang berlokasi di Jalan Jendral Sudirman No. 183 Indramayu.
"Bangunan ini adalah bukti pertama ditegakkannya hukum di Kabupaten Indramayu," ujar dia.
Setelah pemindahan itu dan tidak terpakai, Eks Gedung Landraad ini digunakan sebagai kontor gerakan pramuka Kwarcab Kabupaten Indramayu.
Namun, pada pada tahun 1990-an gedung ini dialihkan sebagai lokasi Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) Indramayu.
"Dan terakhir digunakan oleh Dinas Trantib (yang sekarang Satpol PP) pada tahun 2000-an. Setelah itu, bangunan ini dibiarkan terbengkalai," ujarnya.
Detik-detik Pemindahan Watu Temanten di Gunung Kidul yang Sempat Tak Mempan Dibongkar Mesin

Panas terik matahari tidak dihiraukan oleh ribuan warga Desa Semugih dan sekitarnya. Mereka berkumpul untuk melihat prosesi pemindahan batu yang terletak di tengah-tengah lahan yang terkena perluasan Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS).
MENURUT kepercayaan warga sekitar, dulunya di sekitar batu tersebut digunakan untuk beristirahat sepasang kekasih yang telah menikah yang belum genap satu minggu.
Saat beristirahat tiba-tiba muncul sebuah batu yang berukuran besar menimpa kedua orang tersebut.n
Akhirnya hingga saat ini batu yang menimpa kedua pengantin disebut warga sekitar dengan nama Watu Temanten (Batu Pengantin).
Di bagian atas batu tersebut ditumbuhi dua pohon jati yang tidak terlalu besar ukurannya.
Menurut Kepala Desa Semugih, Sugiarto kedua pohon jati yang tumbuh di bagian atas merupakan perwujudan dua pengantin yang tertimbun batu tersebut.
"Kemarin saat akan diukur tidak bisa, lalu dicoba untuk dibongkar mesin juga tidak mampu," katanya ketika ditemui Tribunjogja.com sebelum prosesi upacara adat pemindahan batu dimulai.
Karena kesulitan mengukur dan memindah batu.
Tetua adat lalu berembuk dengan warga bagaimana sebaiknya cara memindah batu yang berukuran cukup besar.
Lalu hasil dari mereka berembuk adalah meminta bantuan dari pihak Keraton Yogyakarta.
Warga Desa Semugih, Agus Sutoko menjelaskan, batu tersebut sudah lama ada di Desa Semugih.
Sejak dirinya kecil sudah diceritakan oleh orangtuanya cerita yang sama diucapkan oleh Kepala Desa Semugih.
"Sudah ratusan tahun mungkin sudah ada, dan pohon jatinya ya segitu saja tidak tambah tinggi atau besar," ungkapnya.
Dari pantauan Tribunjogja.com, pukul 11.00 WIB perwakilan dari Keraton Yogyakarta sudah datang ke lokasi tempat upacara adat pemindahan batu.
Bermacam-macam sesajen sudah disiapkan mulai dari nasi tumpeng, telur rebus, rokok kelobot jagung (kulit jagung), ingkung (ayam utuh), ikan lele dan kemenyan sudah disiapkan.
Tidak hanya sesajen berbentuk makanan saja namun juga disiapkan dua buah pakaian pengantin.
Pakaian itu terdiri dari pakaian pengantin perempuan lengkap dengan sanggul dan pakaian pengantin laki-laki.
Kedua pakaian pengantin tersebut dipisahkan tempatnya dengan menggunakan kotak yang dibuat dari kayu.
Setelah mempersiapkan sesajen, prosesi selanjutnya adalah berdoa bersama yang dipimpin oleh perwakilan dari Keraton Yogyakarta dan warga sekitar mengikuti doa yang dilantunkan dari perwakilan Keraton.
Mereka melantunkan ayat-ayat suci Alquran bersama-sama.
Setelah doa bersama prosesi selanjutnya adalah penyerahan pakaian pengantin kepada pihak Desa Semugih.
Nantinya pakaian tersebut akan disimpan di Balai Desa Semugih.
Setelah itu barulah prosesi pemecahan batu dengan menggunakan alat berat berjenis tracker.
Di sekitar batu sudah disiapkan berbagai jenis alat berat yaitu backhoe empat buah, tracker satu buah.
Di setiap alat berat tersebut diikatkan sebuah janur kuning di satu diantara sisi masing-masing alat berat.
Perwakilan dari Keraton dan merupakan pemimpin rombongan, GRM Hertriasning menjelaskan, prosesi adat bertujuan untuk meminta berkah kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Menurutnya, berkah yang dimaksud tidak hanya untuk Desa Semugih Kecamatan Rongkop, tetapi juga untuk seluruh Gunungkidul, dan DIY seluruhnya.
"Upacara adat ini adalah tradisi untuk memohon kepada Tuhan yang maha Kuasa supaya diberikan berkah kepada seluruh warga Rongkop dan Gunungkidul,"
"Semoga dengan dilakukan kegiatan ini dapat menambah barokah kepada masyarakat," katanya.
Ia menjelaskan berbagai sesajen yang disiapkan adalah wujud dari permohonan berkah.
"Persiapannya cukup singkat hanya satu minggu karena sudah terbiasa dengan adat dan tradisi sehingga hanya membutuhkan tambahan-tambahan," katanya.
Hertriasning memaparkan, bahwa di setiap lokasi sesajen akan berbeda-beda sesuai dengan adat tradisi yang dipercaya untuk menggeser situs.
Pihaknya juga berpedoman dengan buku-buku yang berisi persyaratan apa saja yang disediakan.
"Semua tempat memiliki ciri khas masing masing sesuai dengan kearifan lokal masing-masing," pungkasnya. (Tribunjogja.com | Wisang Seto)