Kisah Tragedi Kereta Blondo
Kisah Tragedi Blondo : Kepala Stasiun Kejar Kereta Uap yang Telanjur Meluncur ke Arah Kali Elo
Kepala Stasiun Blabak itu mengejar kereta dan berteriak-teriak sembari ngebut melewati jalan raya Blabak-Blondo-Mertoyudan yang bersisian dengan rel
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Ketika peristiwa Blondo terjadi, Soekardjo mulai beranjak remaja, dan kerap mengikuti ayahnya saat bertugas.
Ia tak hanya mendengar cerita ayahnya, tapi melihat langsung sesudah kejadian tabrakan dua sepur kluthuk itu.

"Tabrakan maut itu tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya, benar-benar memilukan," tutur Soekardjo terbata-bata di hadapan Bagus.
Matanya kadang nanar sembari membuka memori ingatannya.

Ia sudah lupa persis hari dan pasaran peristiwa itu. Namun ia ingat petaka itu berlangsung di masa awal Jepang mulai mencengkeram Magelang dan sekitarnya.
Kecelakaan diawali ketika sebuah rangkaian kereta uap dari Yogyakarta tiba di Stasiun Blabak.
Dari arah Magelang juga berhenti rangkaian kereta uap di Stasiun Mertoyudan. Kereta itu membawa muatan beras.
"Ada rangkaian kereta api tujuh gerbong mengangkut beras berangkat dan merayapi jalur dari Stasiun Mertoyudan, menuju Stasiun Blondo, sebelum melintasi jembatan rel Kali Elo," tutur Soekardjo.

Rupanya rangkaian kereta dari Yogya di Stasiun Blabak kemudian juga diberangkatkan sesudah kereta dari arah berlawanan mencapai Mertoyudan. Loko kereta ini menarik empat gerbong, terdiri satu gerbong barang dan sisanya penuh muatan orang.
Ayah Soekardjo terkesiap begitu menerima kabar lewat telegram, kereta dari arah Mertoyudan bergerak menuju arah stasiun yang dijaganya. Padahal ia baru saja meluncurkan kereta dari arah Yogya.

Ia membalas telegram itu dan meminta Stasiun Mertoyudan menghentikan kereta bermuatan beras tersebut supaya tidak terjadi tabrakan.
"Sudah terlambat!" kata Soekardjo.
Apa yang dilakukan ayah Soekardjo? Ia langsung keluar stasiun, menyambar sepeda pancal, menggenjotnya sekuat tenaga kereta yang bergerak meninggalkan Blabak ke arah Blondo.
Kepala Stasiun Blabak itu mengejar kereta dan berteriak-teriak sembari ngebut melewati jalan raya Blabak-Blondo-Mertoyudan yang bersisian dengan jalur kereta api.

Ia tahu jika kereta tidak bisa dihentikan, sudah pasti akan terjadi tabrakan adu kepala.
Apa daya, usaha mati-matian yang dilakukanya tidak membuahkan hasil. Ia kalah cepat.