Saat Pulau Jawa Bagaikan Lautan Susu yang Diaduk Para Dewa

Airlangga menyaksikan daratan Jawa dari puncak ketinggian di pengungsian jadi hamparan putih, seperti lautan susu yang diaduk para dewa

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
situsbudaya.id
Prasasti Pucangan 

Ada dua nama penting di prasasti ini, yaitu Lwaram dan Wwatan. Belum ada kesepakatan tunggal tentang di mana letak Lwaram dan Wwatan ini. Namun pendapat umum menyebut Lwaram ini pusat kerajaan Wurawari yang dulunya berlokasi di Cepu (Blora). 

Candi Gunung Wukir di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
Candi Gunung Wukir di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (TRIBUNJOGJA.com | DWI NOURMA HANDITO)

Ada sebuah desa bernama Ngloram di Cepu, yang kerap dikaitkan dengan Lwaram Wurawari, kerajaan vasal dari Sriwijaya. Selanjutnya Wwatan diyakini sebuah lokasi di Maospati (Madiun) atau Wotan di daerah Ponorogo. 

Ketika pralaya terjadi yang menewaskan raja Dharmawangsa Teguh, Airlangga menyelamatkan diri ke puncak Wanagiri. Diduga kuat ini salah satu lokasi di puncak pegunungan Wonogiri sekarang, dekat perbatasan Ponorogo.

Dari inskripsi itu selain serangan bersenjata dari Wurawari, disebutkan istilah "ekarnawa" atau "arnawa".

Dalam khasanah tafsir Sanskerta, kata ini bisa ditafsirkan sebagai banjir besar, air yang menggenang, seperti lautan susu (putih).

Atau bisa ditafsirkan seperti lautan susu (Prof CC Berg), atau dalam mitologi Hindu ditafsirkan lautan susu diaduk para dewa.

Sedangkan ahli sejarah Labberton (1922) mengartikan "ekarnawa" sebagai gemuruh aliran banjir atau gelombang pasang di laut.

Dari deretan tafsir atas kata "ekarnawa" itulah diyakini mahapralaya serangan Wurawari ke Wwatan bersamaan dengan bencana alam dahsyat banjir bandang atau tsunami. Airlangga menyaksikan daratan Jawa dari puncak ketinggian di pengungsian jadi hamparan putih. 

Di mana lokasinya, para penulis dan ahli sejarah menyakini gelombang air itu datang dari arah (pesisir) selatan. Pasukan Wurawari setelah menghancurkan Wwatan, langsung mundur ke Lwaram. 

Mitos yang muncul, mereka mundur karena melihat datangnya bantuan dari penguasa laut di selatan. Namun, melihat jauhnya Wwatan dari pesisir selatan, tidak mungkin gelombang tsunami ini sampai ke pusat kerajaan Mdang. 

Karenanya gempa bumi dahsyat yang mengawali kabar datangnya gelombang laut dari selatan menciutkan nyali pasukan Wurawari dan membuat mereka menarik mundur ke tempat asal mereka di utara. 

Empat tahun sesudah mahapralaya di Wwatan ini, atau sekitar tahun 1020 Masehi, gunung Merapi meletus dahsyat dengan skala letusan mencapai VEI 4 (Newhall, 1998). Namun belum ditemukan catatan tertulis tentang peristiwa ini mengingat pusat kekuasan Mdang sudah pindah ke Jatim. 

Beberapa abad kemudian cerita tentang bencana hebat gempa dan letusan gunung Merapi muncul dalam Babad Tanah Jawi. Cerita itu muncul saat Sultan Pajang hendak menyerbu ke Kotagede, yang didirikan anak didiknya, Sutawijaya.

Arca Ganesha raksasa yang ditemukan di Sambirejo, Prambanan pada Rabu(15/8/2018) kemarin.
Arca Ganesha raksasa yang ditemukan di Sambirejo, Prambanan pada Rabu(15/8/2018) kemarin. (Tribun Jogja/ Setya Krisna Sumargo)

Ketika pasukan besarnya sampai di Prambanan, dan tinggal berhadapan dengan pengikut Sutawijaya, tiba-tiba gunung Merapi meletus, menyemburkan api pijar dan banjir lahar yang menciutkan nyali Sultan Hadiwijoyo.

Pasukan Pajang dan Sultan Hadiwijaya akhirnya mundur dan menjadi penanda berakhirnya Kasultanan Pajang, dan tonggal awal berdirinya kerajaan Mataram baru di Kotagede (Alas Mentaok). 

Demikianlah, sebagian kecil data dan catatan sejarah yang menunjukkan berbagai bencana alam dahsyat, gempa bumi, banjir, tsunami yang mengoyak Pulau Jawa khususnya, dan mengisyaratkan kejadian serupa di kepulauan Nusantara. 

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved