Jatuhnya Konstantinopel
JATUHNYA KONSTANTINOPEL: Misteri Kematian Kaisar Konstantin dan Nasib Konstantinopel Sesudah Jatuh
Kematian Kaisar Konstantin ketika ibukota Romawi Timur jatuh ke tangan Ustmaniyah tetap menjadi misteri hingga kini
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
John Freely dalam bukunya Istanbul: Ibukota Tiga Imperium Agung (2019), melukiskan Sultan Al Fatih yang sangat muda itu memasuki Gerbang Adrianapolis (Edirne Kapi) pada Selasa sore. Sebuah plakat gerbang mencatat perjalanan masuk Al Fatih.
Menurut penulis sejarah Turki abad 17, Evliya Celebi, saat itu sang Sultan mengenakan sorban lancip di kepalanya dan sepatu berwarna biru langit, menunggang seekor kuda dan membawa pedang Muhammad di tangannya.

Ia memasuki gerbang Edirne langsung menuju Aya Sophia, gereja besar dan paling penting di Romawi Timur. Ia turun dari kuda, berlutut lalu mengucurkan sejumput tanah di sorbannya. Ia menatap Aya Sophia dan memerintahkan gereja itu dialihfungsikan menjadi masjid.
Ia memberi nama Aya Sophia Camii Kabir, atau Masjid Besar Aya Sophia. Berbagai perubahan diperintahkannnya, termasu pembangunan minaret (menara) untuk muadzin. Juga penambahan mihrab dan ceruk yang menghadap ke kiblat di Makkah.
Sultan Al Fatih mendirikan salat pada Jumat, 1 Juni 1453, tiga hari sesudah Konstantinopel jatuh. Beberapa hari sebelumnya, Al Fatih menghentikan aksi penjarahan dan kekejaman di kota itu. Tepatnya 30 Mei 1453.
Al Fatih mengumumkan kota itu akan jadi ibukota kasultanannya, dan memanggil pulang semua penduduk berbagai etnis yang tadinya mengungsi keluar dari Konstantinopel. Ia juga memanggil orang-orang Muslim, Kristen, Yahudi dari berbagai tempat untuk tinggal di Istanbul.
Sebagian di antara mereka sebenarnya telah ikut serta Al Fatih dalam penaklukan Konstantinopel. Pasukan Ustmaniyah memang tidak sepenuhnya bertopang kekuatan prajurit Islam. Banyak di antaranya kaum Frank dan kafir, termasuk ahli meriam asal Hongaria yang nonmuslim.
Al Fatih secara terbuka menerima kehadiran mereka. Kelompok-kelompok masyarakat itu dibagi berdasar asal usul millet (bangsa) dan dipimpin kepala agamanya. Millet Yunani dipimpin patriark Orotodoks.
Millet Armenia dipimpin patriark Gregorian dan Yahudi dipimpin kepala rabi. Mereka boleh mengatur urusan keagamaan dan lain-lain, kecuali kriminalitas yang diatur oleh hakim-hakim kasultanan Ustmaniyah.
Islambul di tangan Sultan Al Fatih tumbuh sebagai pusat ibukota kekhalifahan yang multi etnis. Galata yang dikuasai pedagang dari Italia, yang semula netral, akhirnya menyerahkan diri ke Al Fatih. Namun mereka diberi keleluasaan seperti daerah otonomi.
Padfa sensus pertama yang dilakukan Al Fatih pada tahun 1477, demografi keluarga di Konstantinopel atau Islambul terdiri 9.486 Muslim Turki, 4.127 Yunani, 1.687 Yahudi, 434 Armenia, 267 Genoa, 332 keluarga Eropa selain dari Genoa.
Jumlah populasi di kota itu diperkirakan mencapai 80.000 hingga 100.000 jiwa. Mereka tinggal di dalam maupun di luar tembok, dan sepanjang desa-desa di Selat Bosphorus. Al Fatih menyelesaikan istana barunya di Topkapi Sarayi pada 1479.
Muhammad Sang Penakluk itu meninggal di tengah rencana ekspedisi, diduga ingin menaklukkan Mesir, pada 3 Mei 1481. Kematiannya disembunyikan selama 17 hari hingga putra sulungnya, Beyazit, tiba di ibukota. Beyazit ditahbiskan sebagai Sultan Beyazit II.(Tribunjogja.com/xna)