204 Tahun Letusan Tambora
204 Tahun Letusan Tambora : Tanda-tanda Itu Datang Tiga Tahun Sebelum Puncak Letusan
Pada 27 Agustus 2010, tiba-tiba tubuh gunung itu bergetar. Asap menguar dari kepundan gunung, disusul semburan abu vulkanik.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
204 Tahun Letusan Tambora : Tanda-tanda Itu Datang Tiga Tahun Sebelum Puncak Letusan
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Kita hari-hari ini mengenal erupsi tak berkesudahan Gunung Sinabung di Sumatera Utara. Gunung itu tidur (dormant) selama lebih kurang 400 tahun.
Pada 27 Agustus 2010, tiba-tiba tubuh gunung itu bergetar. Asap menguar dari kepundan gunung, disusul semburan abu vulkanik.
Sekitar 24 jam kemudian, gunung itu meledak. Lava pijar terlontar ke udara seperti kembang api, disusul gelombang awan piroklastika melalap lereng-lerengnya, terutama di lereng barat.
Hampir 9 tahun berlalu, erupsi Gunung Sinabung belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Bagaimana dengan Gunung Tambora?
Dua Letusan Gunung Api di Indonesia yang Lebih Dahsyat dari Erupsi Gunung Krakatau 1883
Bernard de Jong, antropolog yang meneliti dampak sosial budaya letusan Tambora di Pulau Sumbawa dan tempat-tempat lain, menyebut erupsi Tambora ini sesungguhnya menyiarkan tanda awal.
Tiga tahun sebelum meledak, atau 1812, awan misterius berwarna gelap selalu tergantung menyelimuti puncak.
Suara gaduh bergemuruh kerap terdengar seperti diceritakan ekspedisionis Belanda, H Zollinger. John Crafwurd, orang keprcayaan Raffles yang pernah menjabat Residen Yogyakarta, juga jadi saksi mata.
Baca artikel sebelumnya :
204 Tahun Letusan Tambora : Ketika Kolom Api Raksasa Menyapu ke Segala Penjuru
Tahun sebelum Tambora meletus, tak disebut persis tanggal dan bulannya, ia pernah memimpin pelayaran kapal dari Jawa ke Makassar. Suatu hari, kapal yang dinakhodai Crafwurd berlayar merapat ke pantai Pulau Sumbawa.
“Pada suatu jarak, awan-awan debu terpancar mengilhami satu sisi horizon, seolah memberitahukan cara penampilan suatu daerah tropis yang mengancam dengan tanda bahaya,” tulis Crafwurd.
Ia memberitahu, tampaknya Tambora saat itu sudah memasuki fase erupsi dengan melontarkan semburan abu vulkanik. “Debu-debu berjatuhan di atas dek kapal,” lanjut Crafwurd.
Apa yang Akan Terjadi Jika Seluruh Gunung Api Meletus Bersamaan?
Penduduk Sumbawa rupanya juga mulai ketakutan. Para raja sebagai pemimpin masyarakat setempat meminta Residen Bima mengirim peninjau untuk memeriksa keadaan Tambora.
Residen Pielaat yang bertugas waktu itu menugaskan Mr Israil guna pergi ke Tambora. Namun petugas itu tiba persis saat Tambora meledak di 5 April 1815.
Daya ledak Tambora dipercaya para ahli sulit dicari tandingannya dalam sejarah modern. Gunung itu kehilangan sepertiga puncaknya, menyisakan kaldera berdiameter 6 kilometer.
Tinggi gunung itu menjadi 2.800 meter dari semula 4.200 meter. Puncak Tambora benar-benar terpangkas. Ia memuntahkan tak kurang 150 kilometer kubik material ke segala penjuru.
Dua Letusan Gunung Api di Indonesia yang Lebih Dahsyat dari Erupsi Gunung Krakatau 1883
Angin kemarau yang bertiup dari tenggara ke barat laut Nusantara, menerbangkan debu vulkanis ke Pulau Bali, Jawa, Sumatera dan Kalimantan.
Sisanya masuk stratosfer yang nantinya akan mengelilingi bumi, dan menimbulkan efek dahsyat di belahan bumi Eropa.
Sejarah dunia mengenal “years without summer”, atau tahun-tahun tanpa musim panas. Letusan Tambora mampu mengubah iklim bumi, memicu zaman es kecil di belahan utara.
Kenangan dahsyatnya letusan Tambora muncul dalam catatan George Zimmer, seorang zending Belanda di Kalimantan pada 1874. Ia mendengar pengakuan seorang perempuan tua tentang kisah 59 tahun sebelumnya itu.
“Bumi bergoyang dan semua orang ketakutan seolah langit akan runtuh. Pada hari bunyi itu terdengar diikuti curah hujan debu,” tulis Zimmer sembari menyebut perempuan tua itu tetap tidak tahu dari mana debu itu datang.
Studi antropologi Bernard de Jong mengungkapkan, dampak letusan Tambora di wilayah terdekat itu sangat dahsyat. Tebal rata-rata debu di Pulau Sumbawa mencapai 60 cm.
Gelegar Letusan Gunung Krakatau 1883 : Suara Dahsyat yang Mengelilingi Dunia 4 Kali
Sedangkan di kaki gunung mencapai 120 cm. Wilayah Kerajaan Pekat dan Tambora musnah terkubur. Tak satupun penduduknya selamat.
Tanah pertanian rusak, hutan hancur, panen gagal, kelaparan datang, dan wabah mematikan seperti kolera dan pes tersebar.
Kematian total dari dampak langsung maupun tak langsung ditaksir mencapai 117.000 jiwa. Angka itu meliputi korban tewas di Sumbawa dan sekitarnya, Pulau Lombok, dan Pulau Bali.
Surat kabar Batavia Courant pada 26 Oktober 1816, atau 1,5 tahun sesudah letusan Tambora melaporkan, kelaparan dan petaka kematian hebat terjadi di Bali.
Inilah Citra Satelit Longsoran Tebing Kawah Gunung Anak Krakatau, 64 ha Longsor Sebelum Tsunami
Penyakit sampar membunuh penduduk, termasuk Raja Badung Gusti Ngurah Made Keleran. Bencana mengerikan terus berlangsung hingga 1818.
Komisaris Belanda Van den Broek yang mengunjungi Bali pada 1818 menyebut dampak letusan Tambora dan akibatnya menewaskan 2/3 penduduk Bali dan Lombok.
Penjelajah alam Herbert Zollinger yang mendaki ke puncak Tambora pada 1847 mencatat angka yang lebih rendah.
Sementara ahli botani Junghun memperkirakan kematian di Lombok mencapai 44 ribu jiwa. Tidak ada angka pasti, meski pada akhirnya publikasi umum menyepakati korban jiwa letusan Tambora mencapai 117.000 jiwa di berbagai daerah.
Sedangkan tak kurang 38.000 penduduk Sumbawa bermigrasi ke pulau-pulau lain karena wilayahnya tak mungkin dihuni lagi pada waktu itu.
Letusan Dahsyat Gunung Toba Itu Kemudian Berubah Menjadi Sebuah Danau nan Indah
Meski begitu mengerikan, dampak positifnya ada. Material vulkanik yang menyelimuti berbagai daerah jadi pupuk alam yang sangat menyuburkan tanah.
Pertanian di Bali dan Lombok pulih cukup cepat. Produksi beras meningkat tajam pada 1835. Bali dan Lombok mampu mengekspor beras ke Jawa, Singapura dan Cina.
Tahun 1846, bahkan Bali menjadi lumbung beras bagi Singapura sebagai kota dagang utama Asia Tenggara. Komoditas ekspor lain juga melambung, seperti kopi, kelapa, tembakau.(Tribunjogja.com/xna)