Kisah Jenderal Polisi Bintang Empat Atur Lalu Lintas di Perempatan Jalan

Jenderal Polisi Bintang Empat Atur Lalu Lintas di Perempatan Jalan Sosok Hoegeng ternyata juga punya kisah peduli masyarakat

Editor: Iwan Al Khasni
via Instisari.grid.id
Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santosa 

Rumah Panglima AKRI di Jalan Madura no. 8 itu hanya sebuah tempat tinggal mungil dengan pekarangan depan yang kecil tapi rapi terpelihara.

Pintu garasi yang berwarna merah menyala, menyambut setiap tamu yang datang dengan kesan keriangan. Sosok Komjen Pol. Drs. Hoegeng Iman Santosa, kecil gesit.

Sama sekali tidak kekar atau tegap seperti umumnya Panglima Angkatan yang lainnya. Di antara rekan-rekannya perawakan Pak Hoegeng ibarat sebuah sepeda di tengah-tengah beberapa buah truk.

Kegesitan “sepeda” ini kami saksikan sendiri bila melihat Pak Hoegeng menjadi inspektur upacara. Jika berjalan menuju mimbar, langkahnya pendek-pendek cepat, langsung, dan lurus seperti akan menabrak apa saja yang melintang di jalan.

Pak Hoegeng anak Pekalongan, sebab itu berbahasa Jawa logat Bagelen. Dilahirkan tanggal 14 Oktober 1921 dari keluarga Soekario Kario Hatmodjo.

Adik tunggalnya bernama Titi Sudjali, sekarang nyonya Kolonel Hutomo Mastap di Cimahi. Menjadi polisi memang cita-citanya sejak kecil.

Sebagai seorang kepala jaksa ayahnya mempunyai banyak kenalan di korps kepolisian. Antara lain Komisaris Polisi Ating Natakusumah yang sering datang ngobrol ke rumahnya sore-sore.

Dari Pak Ating inilah si kecil Hoegeng acapkali mendengar cerita tentang pekerjaan-pekerjaan polisi. Antara lain Pak Ating sering berkata, “Bila jadi polisi, kamu akan dekat dengan rakyat, sebab rakyat yang kesusahan selalu minta tolong pada polisi.”

Kata-kata itu rupanya meresap dalam hati Hoegeng yang setelah melewati Hollandsch Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) - keduanya di Pekalongan - dan Algemene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta pada tahun 1940, berkata pada ayahnya, “Pak, saya mau masuk sekolah polisi.”

Tapi untuk masuk kursus komisaris polisi seperti Pak Ating, Hoegeng belum memenuhi syarat. Sebab yang diterima hanya yang berijazah lebih dari AMS. Paling-paling Hoegeng hanya bisa masuk kursus Inspektur Polisi. Ia pun mau. Tapi ada kesulitanlain.

Ayahnya, seorang nasionalis yang “sombong” kepada Belanda. Tidak mau memohon-mohon ketika anaknya mendaftar. Ini menyebabkan anaknya menemui banyak rintangan.

Akhirnya Hoegeng menjadi siswa Rechts Hoge School (RHS) di Batavia dengan tidak melepaskan cita-citanya untuk meneruskan ke Kursus Komisaris Polisi, bila dari RHS nanti sudah menggondol titel Meester in de Sechten.

Tapi cuma dua tahun Hoegeng bersekolah di Batavia, sebab pada tahun 1942 Jepang masuk. RHS itu ditutup. Ia menganggur. Selama periode tak bersekolah ini yang berlangsung kira-kira tiga bulan, Hoegeng mencari duit.

Keliling ke Pati, Pekalongan, Semarang, dan sekitarnya menjual buku-buku pelajaran bahasa Jepang. Selama masa itu sempat pula ia bekerja sebagai penyiar pada radio Semarang, meskipun cuma beberapa hari.

Hingga akhirnya pada suatu hari keluar suatu pengumuman. Jepang membuka kursus-kursus Inspektur Polisi di beberapa kota, antara lain di Pekalongan. Tujuan Jepang ialah membentuk polisi-polisi baru untuk menggantikan polisi-polisi Belanda yang semua sudah diinternir.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved