Kota Yogyakarta

Tolak Aura Negatif, Dodok Sesalkan Kebijakan Pencabutan Moratorium

Aksi ini disebutkannya untuk melibas aura jahat dan bentuk negatif lain yang melekat pada pengayom masyarakat.

Penulis: Kurniatul Hidayah | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM / Kurniatul Hidayah
Dodok Putra Bangsa sedang menggelar ritual menangkal aura negatif di Pemerintahan Kota Yogyakarta, Rabu (9/1/2019). 

Ia pun menggelar ritual untuk menghilangkan dan mengusir aura negatif.

"Moratorium dimulai tahun 2014 sampai 31 Desember 2018 kemarin. Kalau niat Pak Wali baik, ia akan memperpanjang moratorium tersebut hingga 2022," bebernya.

Ia pun menyayangkan tidak ada penuturan terkait evaluasi moratorium dari 2014-2018 yang disampaikan oleh Pemerintah Kota.

Menurutnya masyarakat berhak mengetahui apa saja dampak yang sudah ada dan dirasakan hingga saat ini.

"Hotel bintang 1-3 sudah terjadi. Dan yang dialami saat ini Yogya jadi macet," ucapnya.

Baca: PHRI DIY Usulkan Moratorium Hotel untuk Bintang 3 ke Bawah

Tak hanya itu, dampak yang dirasakan warga pun lebih akan berefek panjang.

Rumah mereka yang terhalang oleh gedung tinggi, merampas hak mereka untuk mendapatkan sinar matahari pagi.

Dodok menuturkan, air tanah juga akan menyusust meski pemerintah mengharuskan seluruh hotel nantinya menggunakan air dari PDAM dan bukan dari sumur dalam lagi.

"Pada 2014, Miliran kering karena Fave pakai air tanah. Sekarang Hariyadi bilang seluruh hotel nggak boleh air tanah tapi pakai PDAM. Ini pembodohan. PDAM ini pake air tanah. Beda kalau di Jakarta PDAM pakai air kali. Kalau di sini bukan mengelola sungai gede, misal Gajahwong, Code, Winongo untuk sumber air hotel," tandasnya.

Dodok juga mengatakan bahwa keberadaan hotel merampas oksigen.

Pasalnya mereka menyediakan ratusan kamar dan tidak mengimbangi dengan aksi menanam pohon.

"Kalau rumusnya 1 pohon menyediakan okaigen untuk 2 orang, maka mereka mendirikan ratusan kamar dan tidak menanam pohon," tuturnya.

Baca: Rumah Penduduk Tergusur Hotel, Warga Serukan “Gondolayu Ora Didol”

Terkait aksinya tersebut, Dodok mengatakan bukan kali pertama. Februari 2016, warga Miliran melakukan ritual mandi air kembang 7 rupa dari 7 sumur di depan Kompleks Balaikota Yogyakarta, untuk menolak bala yang lahir dari dosa para pemimpin Yogyakarta yang telah menyalahi tatanan kehidupan.

Mei 2018, prosesi ruwatan untuk bumi Yogyakarta kembali digelar, dengan ditarikannya Bedhaya Banyu neng Segara oleh para penari dari Pendapa SangArt.

Tarian bedhaya yang sakral ditarikan di depan Balaikota Yogyakarta oleh 7 perempuan untuk mendoakan bumi yang dipijak sebagai tempat bernaung, hidup, dan mati.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved