Cerita Pemindahan Makam Raden Ronggo dan Langit yang Tiba-tiba Pekat Disertai Kilatan Petir
Awan pekat tiba-tiba menggelayut, hujan turun disertai dengan kilatan petir ketika dilakukan pemindahan makam Raden Ronggo
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Raden Ronggo menolak menghadap Daendels di Batavia. Pada 20 November 1810, ia pergi ke Madiun bersama 300 pengikut setianya. Itulah awal penanda perlawanannya kepada Belanda.
Ia memperkuat benteng di Maospati. Dukungan dan simpati datang dari berbagai elite Mataram, termasuk Bupati Panolan, Tumenggung Notowijoyo II, ayah mertua Pangeran Diponegoro.
Sultan HB II dalam tekanan Belanda akhirnya "mengirim" pasukan guna memburu Raden Ronggo. Namun demikian kenyataannya pasukan itu tidak berbuat apa-apa karena dilematis.
Dandels kemudian mengirim pasukan khusus, bersiasat dengan Patih Danurejo II, untuk menuntaskan misi. Pangeran Dipokusumo, saudara Pangeran Diponegoro, dijadikan panglima perang.
Ndalem Maospati diserbu, namun kosong. Raden Ronggo sudah memindahkan kubu ke Wonosari, Madiun beserta 100 pengikutnya yang tersisa. Ia diburu, lari ke Kertosono.
Dipokusumo akhirnya bertemu Raden Ronggo. Dengan tombaknya sendiri, Kyai Bleber, Raden Ronggo akhirnya tumbang di hadapan Dipokusumo. Jenazahnya tiba di Yogyakarta pada 21 Desember 1810.
Setelah dipertontonkan di muka umum, hari berikutnya jasadnya dimakamkan di Banyusumurup, bersatu dengan kuburan Pangeran Pekik, Pangeran Lamongan, dan Roro Oyi. (*)