Yogyakarta

Rampak Gedruk Buto, Tarian Simbol Kemarahan Raksasa

Tarian gedruk ini merupakan seni tari yang kisahnya diambil dari Ramayana, menceritakan tentang kemarahan buto.

Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Ahmad Syarifudin
Tari rampak gedruk Buto saat pentas di embung Langensari Klitren Gondokusuman Yogyakarta, Minggu (28/10/2018). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ahmad Syarifudin

TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL- Indonesia negara yang kaya keberagaman adat seni dan budaya.

Di tiap-tiap pelosok daerah memiliki keunikan dan identitas seni yang dimiliki.

Tak terkecuali di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Baca: Baca Puisi dan Dolanan Tradisional Anak, Upaya Lestarikan Seni dan Budaya

Di daerah ini berkembang dan terkenal di masyarakat adanya seni tari rampak gedruk buto.

Kesenian yang biasa disebut gedruk ini merupakan satu di antara babak dari kesenian Jathilan.

Tarian ini dimainkan oleh sekelompok orang memakai kostum dan topeng buto.

Permainannya sederhana dengan menghentak-hentakan kaki ke tanah.

Diiringi alunan musik tradisional, membuat kesenian ini istimewa.

Seorang pegiat seni rampak buto, Bongge mengatakan, tarian gedruk ini merupakan seni tari yang kisahnya diambil dari Ramayana, menceritakan tentang kemarahan buto.

"Dengan hentakan kaki, kemarahan buto itu diekspresikan dalam bentuk tari," kata Bongge pada Tribunjogja.com.

Menurutnya, tari gedruk ini satu rangkain dengan jathilan.

Bahkan musik pengiring yang digunakan pun sama.

"Ada gendang, bonang, saron, kempul, slompret dan ketipung," terangnya.

Adapun kostum dan aksesori yang dikenakan oleh penari terdiri dari krembyah-krembyah yang melekat pada pakaian sang Buto, selendang, hiasan uncal, buntal sejenis tameng di dada dan paling utama adalah topeng buto dan kerincing atau lonceng kecil yang dipasang di kaki.

Baca: Tari Tradisional Golong Gilig Praju Manggala Buka Peksiminas 2018

Hantakan kuat kaki sang penari, akan membuat lonceng berbunyi serempak.

Itu yang menjadi ciri khas tari rampak buto ini.

"Butuh kekompakan, dan hentakan kaki yang kuat supaya kemarahan buto itu bisa tergambarkan dengan baik," terang lelaki asal Sumberadi, Mlati, Sleman ini.

Bongge sendiri mengaku sudah sejak tahun 2010 silam, mulai menggeluti kesenian gedruk ini.

Ia mengaku senang dan bangga karena bisa terus melestarikan seni dan budaya Nusantara. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved