Gunungkidul
Kisah Penyintas Bunuh Diri Asal Gunungkidul, Bersyukur Dapat Kesempatan Kedua untuk Nafkahi Anak
Besarnya biaya untuk kontrol ke rumah sakit setelah kaki diamputasi membuatnya putus asa dan berpikir bahwa jalan satu-satunya adalah bunuh diri.
Penulis: Wisang Seto Pangaribowo | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Wisang Seto Pangaribowo
TRIBUNJOGJA.COM, GUNUNGKIDUL - Marsudi, laki-laki setengah baya asal Gunungkidul menjadi sosok inspiratif sebagai penyintas bunuh diri yang sempat mengidap penyakit imboli trombus.
Penyakit tersebut membuatnya merelakan kaki kirinya diamputasi.
Vonis imboli trombus ia dapatlam lantaran terlalu banyak mengkonsumsi rokok.
Baca: Faktor Depresi Jadi Salah Satu Pemicu Tingginya Angka Bunuh Diri di Gunungkidul
Permasalahan tidak berhenti pada amputasi saja.
Besarnya biaya untuk kontrol ke rumah sakit setelah kaki diamputasi membuatnya putus asa dan berpikir bahwa jalan satu-satunya adalah bunuh diri.
"Obat saya paling murah Rp 120 ribu, sekali kontrol harus mengeluarkan uang sebesar Rp 1,5-3 juta, bayangkan jika saya harus kontrol dua kali seminggu, bahkan ada obat yang belum saya tebus seharga Rp 2,5 juta," ujar Marsudi, Selasa (16/10/2018).
Dirinya terkena penyakit tersebut pada Agustus 2017 tahun lalu.
Penyakit serta kondisi ekonomi yang memburuk membuatnya depresi, sudah puluhan juta biaya dikeluarkan untuk mengobati penyakitnya.
"Sebelum terkena penyakit itu saya bekerja sebagai tukang las, entah itu las listrik maupun las karbit. Setelah terkena penyakit itu saya jual alat-alat las saya untuk mengobati penyakit," terangnya.
Keluar masuk rumah sakit membuatnya kehilangan mata pencahariannya selama ini dan memperburuk kondisi ekonominya.
"Saya berpikir dari pada harus menebus obat yang harganya mahal tiap minggunya lebih baik saya bunuh diri, dengan cara meminum racun tikus," paparnya.
Marsudi mengatakan dirinya mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup, saat itu dirinya ketahuan meminum racun tersebut oleh sang ayah dan langsung dilarikan ke rumah sakit.
"Ternyata racun tikus rasanya pahit," ujarnya diiringi tawa.
Ia dapat bertahan hingga saat ini karena diberi motivasi oleh keluarga dan orang-orang dekat di sekitarnya.
"Setelah kejadian tersebut mendapatkan motivasi dari keluarga dan bertemu dari Yayasan Yakum diberikan pembekalan mental, saya juga teringat dengan kedua anak saya. Harus bersemangat kembali untuk menghidupi anak saya," katanya.
Saat ini dirinya membuka usaha dari nol kembali yaitu membuat jasa cuci pakaian di rumahnya yang beralamatkan di Karangrejek, Kecamatan Wonosari.
"Namanya Rizky laundry, saat ini sedang merintis usaha dari nol. Kalau untuk usaha las, dibutuhkan banyak modal paling tidak Rp 30 juta," katanya.
Sementara itu wakil bupati sekaligus ketua satgas berani hidup, Immawan Wahyudi mengatakan untuk menurunkan angka bunuh diri memang dibutuhkan kerjasama antar pihak.
"Forum workshop seperti ini merupakan sarana pengayakan baik yang bersifat normatif karena bersifat ceramah terkait dengan nilai-nilai kehidupan," katanya.
Immawan menuturkan agar para pengusaha dapat memperkerjakan kaum difabel karena mereka juga mampu untuk bekerja layaknya orang normal.
"Sebagai contoh tadi ada satu pengusaha yang memberikan kesempatan bagi orang yang mengalami gangguan jiwa (ODGJ), dan ternyata hasil kerjanya lebih bagus dari pada orang normal," katanya.
Ia mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam menanggulangi angka bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul.
"Kami selalu komunikasi dengan Ustad maupun agamawan, budayawan untuk masalah penanggulangan bunuh diri," katanya.
Terpisah Project manager kesehatan jiwa Yakum, Siswaningtyas mengatakan, bunuh diri bukan permasalahan individu maupun keluarga pencegahannya bisa melibatkan masyarakat sekitar.
"Pendekatannya kami sebut Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM), terutama keluarga tetangga desa, ada pengetahuan terkait bunuh diri ciri-cirinya mereka akan mengenal, sehingga dapat dicegah dari pihak keluarga terdekat," katanya.
Baca: Wanita Hamil 5 Bulan Asal Magelang Coba Bunuh Diri dengan Cara Loncat Jembatan Pabelan
Permasalahan Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP) merupakan tanggung jawab masyarakat, sehingga dengan pengetahuan tersebut dapat mengurangi angka bunuh diri.
"Memberikan peluang-peluang bagi ODDP untuk kembali ke masyarakat, jangan sampai ODDP yang sudah sembuh dalam perawatan medis dikucilkan di masyarakat," katanya.
Saat ini pihaknya telah memberikan pendampingan sejumlah 63 orang, dengan 40 orang pendampingan intensif, lingkup wonosari ada 4 desa yaitu Siraman, Mulo, Duwet, Karangrejek.
"Selain itu kami juga memberikan bantuan modal untuk mereka membuka usaha sesuai dengan potensi mereka lain, seperti menjahit, berjualan," ujarnya.
Sementara itu Kapolres Gunungkidul, AKBP Ahmad Fuady mengatakan, saat ini untuk gerakan penanggulangan bunuh diri di Gunungkidul bergabung dengan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul.
"Dari Polres Gunungkidul telah bergabung dengan Pemkab Gunungkidul, yaitu tergabung dalam Satgas berani hidup. Tidak hanya polres saja tetapi Kodim juga tergabung di dalamnya," ujarnya.
Ahmad menuturkan saat ini pihaknya bersama satgas berani hidup tengah berusaha untuk menekan angka bunuh diri di Gunungkidul.
"Tahun 2016 sebanyak 33 kasus, lalu tahun 2017 ada 37 kasus, saat bulan Oktober kali ini ada 21 kasus. Kami tetap berusaha untuk menekan angka bunuh diri," katanya.
Pihak kepolisian juga mengadakan himbauan-himbauan kepada masyarakat Gunungkidul agar tidak melakukan bunuh diri.
"Kami melalui Babinkamtibmas selalu menghimbau kepada masyarakat agar tidak melakukan bunuh diri, selain itu juga melakukan penyuluhan-penyuluhan di masyarakat," terangnya.
Dengan adanya program dari pihak kepolisian terkait dengan penanggulangan bunuh diri, hingga saat ini program tersebut dinilai sudah berjalan dengan baik.
"Target kami di bawah tahun lalu hingga saat ini ada 21 kasus, kami terus menekan semoga hingga akhir tahun tidak bertambah lagi," tutupnya. (*)