Jejak Gempa Dahsyat yang Meluluhlantakan Wonosobo

Jauh sebelum negara ini mendeklarasikan kemerdekaannya, tahun 1924, Wonosobo sempat diguncang gempa dahsyat

Editor: Mona Kriesdinar
Repro | Troppen Museum Holland
Kondisi Hotel Dieng paskagempa 

Selang beberapa hari kemudian, Rabu, 12 November 1924, dua guncangan kuat terasa di sore hari yang menyebabkan kerusakan serius. Gempa berlangsung 10 menit dengan guncangan keras dan bergelombang dari arah utara disertai gemuruh .

Rangkaian encana belum berakhir. Gempa kembali mengguncang cukup kuat pada Minggu, 16 November 1924. Pusat gempa di 4 KM BL dari pusat Kota Wonosobo, telah menyebabkan fragmentasi dan pergeseran lapisan tanah.

Beberapa daerah yang disebut terkena dampak terparah adalah kampung Kali Tiloe, Pagetan, Salam, dan Larang yang terseret runtuhnya tanah. Dampak gempa mencapai daerah Wonoroto dari utara ke selatan dari pusat gempa. Banyak kampung mengalami kerusakan sangat parah (Indie, hlm 331).

Apa penyebab gempa mengerikan ini?

Tidak terekam adanya aktifitas vulkanik waktu itu. Getaran gempa ini diduga murni gempa tektonik. Banyaknya tanah yang bergerak dalam gempa ini merupakan situasi geologi yang aneh.

Kondisi ini diperparah dengan pergerakan lumpur yang masuk ke Sungai Serajou (Serayu) dan Sungai Prengae.

Gempa dan hujan lebat yang turun waktu itu membuat air sungai meluap hingga menimbulkan banjir bandang. 
Banyak jembatan hancur hingga jalur komunikasi dan transportasi Wonosobo terputus.

Gempa bukan hanya menghancurkan wilayah pedesaan, namun juga meluluh lantakan bangunan-bangunan kokoh di pusat kota.

Beberapa bangunan kolonial yang dibangun kokoh pun tak kuat menahan guncangan hingga ambruk. Hotel Dieng, (kini Hotel Kresna), hancur karena gempa. Beberapa bangunan lain masih berdiri namun mengalami kerusakan sangat parah.

Gempa yang menghancurkan ini memang telah lama berlalu. Ceritanya terkubur seiring dengan laju zaman dan pergantian generasi.

Referensi yang menyajikan bencana besar ini pun sangat terbatas. Literatur yang ditemukan pun masih berbahasa Belanda dan Inggris. Tak ayal, banyak masyarakat Wonosobo yang tak mengetahui ihwal sejarah ini.

Bimo mengatakan, pengungkapan sejarah ini bukan untuk menakut-nakuti. Dengan mengetahui sejarah ini, masyarakat justru diharapkan sadar diri terkait potensi bencana alam yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

Selain mengukur diri, masyarakat juga diharapkan lebih bersahabat dengan alam yang seketika bisa murka. Sejak cerita ini diangkat kembali dari terjemahan literatur berbahasa asing, tak sedikit masyarakat terkaget.

Sebagian menyempatkan diri berkunjung ke Perpusda Wonosobo untuk membaca cerita lebih lengkap yang dipajang di dinding.

"Saya kaget, baru tahu kalau pernah terjadi gempa dahsyat di Wonosono. Orang tua tidak pernah cerita. Sejak kecil sampai sekarang, saya juga belum pernah merasakan gempa lokal,"kata salah seorang pengunjung perpustakaan Wonosobo. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved